Only The Beginning

Bavinck menuliskan bahwa penciptaan manusia pertama, Adam, adalah awal dari perjalanan hidupnya, bukan akhir untuk selamanya. Kondisi Adam saat diciptakan tidak berada pada posisi yang sifatnya kekal, tapi bersifat conditional, yaitu selama Adam taat berpegang kepada perintah Tuhan maka ia akan tetap dalam keadaan naturnya sebagaimana ia diciptakan, ia dapat memiliki relasi yang intim dengan Tuhan, memiliki hukum moral yang telah tertulis dalam hatinya, memiliki segala pengetahuan dan akal budi yang dianugerahkan Tuhan untuk memelihara bumi dan makhluk ciptaan Allah lainnya. Namun hal ini akan berubah jika Adam melanggar perintah Tuhan. Bavinck menekankan bahwa relasi Tuhan dengan manusia sebenarnya terikat dalam sebuah covenant. “Generally, a covenant is an agreement between persons who voluntarily obligate and bind themselves to each other for the purpose of fending off an evil or obtaining a good”. Ia juga mengatakan bahwa “True religion, accordingly, cannot be anything other than a covenant, it has its origin in the condescending goodness and grace of God”.

Setelah membaca bagian ini penulis semakin menyadari betapa pentingnya peran Yesus Kristus sebagai mediator dari perjanjian awal yang telah dilanggar dan dikhianati oleh manusia terhadap Allah (Hosea 6:7). Dan benarlah apa yang tertulis dalam Yoh.14:6, bahwa hanya melalui Yesus Kristus, yang mendamaikan kita dengan Allah, manusia yang telah mengkhianati covenant awal dapat berbalik kembali kepada Allah Bapa oleh karena terhisap perjanjian anugerah (covenant of grace) melalui pribadi Yesus Kristus. Munculnya agama dalam berbagai bentuknya adalah manifestasi dari natur manusia pertama, di mana hukum moral telah tertulis di dalam hatinya. Namun kejatuhan dalam dosa telah membuat natur manusia tidak lagi berorientasi pada Allah tetapi hanya pada kepentingan dirinya sendiri. Manusia telah melanggar covenant yang mengikat relasinya dengan Allah, Sang Pencipta, dengan demikian manusia kehilangan arah dan kebenaran Allah. Dengan berbekal pengetahuan dan akal budi yang telah dianugerahkan, manusia berusaha untuk mencari Allah dengan kebenarannya sendiri, dengan mengandalkan kompas hukum moral yang masih tersisa karena telah tertulis di dalam hatinya saat mereka diciptakan. Agama seharusnya menjadi langkah awal bagi manusia untuk menemukan kembali kebenaran Allah yang telah hilang itu dalam dirinya akibat dosa dan pencarian itu akan terus bergerak sampai akhirnya oleh karena kasih karunia Allah, mereka dapat menemukan pribadi Yesus Kristus, yaitu Jalan, Kebenaran dan Hidup yang akan menuntun kita berbalik kembali kepada Allah Bapa (Yoh.14:6).

Agama yang sejati haruslah berawal dari pencarian manusia akan kebenaran Allah yang terikat dalam sebuah perjanjian (covenant). Hukum moral, akal budi dan pengetahuan yang dianugerahkan Allah pada manusia, janganlah sampai menjadi batu sandungan bagi kita sendiri dalam pencarian akan pengenalan terhadap Allah yang benar. Kita yang telah dicelikkan akan kebenaran Allah yang sejati itu, sudah seharusnya memiliki tanggung jawab dan beban moral untuk menjadi saksi Kristus dan memberitakan-Nya bahwa tidak ada jalan lain bagi manusia untuk datang kepada Allah Bapa kecuali hanya melalui Yesus Kristus, mediator perjanjian anugerah (covenant of grace) kita dengan Allah.

Gambar dan Rupa Allah

Berdasarkan apa yang tertulis dalam Alkitab dan pengakuan iman Reformed, maka Bavink memberikan sebuah highlight bahwa manusia tidak dikatakan memiliki gambar dan rupa Allah tetapi manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej.1:26, 9:6). Manusia adalah gambar dan rupa Allah itu sendiri. Alkitab memberi kesaksian bahwa manusia adalah anak Allah (Luk.3:38), keturunan Allah (Kis.17:28), menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah (IKor.11:7). Tidak ada satu pun dalam diri manusia yang berada di luar gambar dan rupa Allah. Saat ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain memperlihatkan vestiges of God, tetapi hanya manusia yang adalah image of God.

Diciptakan serupa dan segambar dengan Allah adalah merupakan sebuah privilege yang dengan kontras dapat membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hatimu (heart),segenap jiwamu (soul),segenap akal budimu (mind) dan segenap kekuatanmu (strength) (Mrk.12:30). Dengan demikian jelas bahwa manusia adalah sebuah pribadi yang memiliki kemampuan berpikir, merasa dan berkehendak, serta kemampuan yang dipercayakan Tuhan pada manusia untuk mengelola ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya dan semua itu berada dalam kuasa manusia. Allah melihat segala sesuatu yang diciptakan-Nya itu sungguh amat baik (Kej.1:31). Penulis berpikir jika memang demikian baik dan sempurnanya manusia diciptakan pada mulanya maka segala atribut yang ada dalam diri manusia pasti memampukannya untuk mengasihi Allah, mencintai dan ingin menaati perintah-Nya dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Tuhan Yesus. Apakah sesungguhnya yang membuat mahakarya ciptaan Tuhan yang sempurna ini dapat jatuh ke dalam dosa? 

Penciptaan adalah karya Tuhan Allah yang sempurna, khususnya manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Ini berarti segala potensi untuk hidup sempurna yang sesuai dengan kehendak-Nya telah Tuhan berikan dalam diri manusia pertama yang diciptakan-Nya. Bahkan manusia memiliki kuasa atas ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya (Kej.1:26). Mengapa dalam diri manusia masih dapat timbul rasa ketidakpuasan ingin menyamai Allah padahal kondisinya sendiri sudah begitu sempurna dan tinggal di dalam lingkungan Taman Eden, yang penulis bayangkan adalah sebuah tempat yang sangat indah? Mengapa Adam, yang menerima mandat perintah Tuhan secara langsung, yang pastinya memiliki relasi yang begitu intim dengan Tuhan tidak menegur Hawa yang memberikannya buah terlarang itu?, telah berubahkah kasihnya pada Allah karena Hawa? Bukankah seharusnya Hawa bertindak sebagai penolong sesuai dengan kehendak Tuhan baginya, tetapi mengapa justru malah menjerumuskannya? Apakah semua tragedi kejatuhan manusia ini sudah berada dalam ketetapan Allah yang harus digenapi? Ataukah ingin menyingkapkan betapa berbahayanya manusia jika ingin memisahkan diri dari Allah? Semua pertanyaan ini adalah pergumulan penulis dalam menyikapi betapa kita harus selalu waspada dan berjaga-jaga. Walau telah menerima anugerah keselamatan Allah, janganlah kita sampai mengulang tragedi Taman Eden dalam kehidupan kita yang sekarang. Penulis berdoa pada Tuhan, kiranya kesadaran ketergantungan penuh pada Allah yang berotoritas selalu ada dalam diri kita semua.    

Selamatkah Aku?

Pertanyaan ini adalah pertanyaan besar yang akan ditanyakan oleh seluruh umat manusia mana pun, jika mereka peduli tentang hidupnya. Bagi mereka yang tidak peduli tentunya hanya berpikir bagaimana ia dapat hidup dan mempertahankan dirinya saja. Apakah semua agama dan kepercayaan memiliki pemahaman yang sama tentang keselamatan? Jawabannya tentu saja tidak. Semakin kita mendalami suatu bidang ilmu, maka kita akan semakin cermat untuk dapat membedakan yang satu dengan yang lain. Kekristenan memiliki pemahaman yang paling unik tentang keselamatan. Di saat agama dan kepercayaan di dunia memahami bahwa manusia diselamatkan karena perbuatan baik yang dilakukannya (Autosoteric), misalnya rajin beribadah, berdoa, beramal dan berbuat kebaikan, maka seseorang bisa diselamatkan. Kekristenan mengajarkan bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus dan oleh karena anugerah Allah saja (God-Soteric). Allah yang berinisiatif menanamkan benih iman dalam hati kita sehingga kita dimampukan untuk dapat memiliki keinginan dan kerinduan untuk mengenal Allah yang benar. Allah sendiri yang berinkarnasi mengosongkan diri-Nya dalam diri Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia yang berdosa. 

Santo Agustinus memberikan pandangannya tentang pemahaman keselamatan dalam kekristenan pada abad yang ke-4, yaitu keselamatan hanya ada di dalam Kristus melalui iman dan perbuatan baik adalah buah dari keselamatan itu. Akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka manusia mengalami mati rohani, terputusnya relasi dengan Allah sehingga manusia tidak mau dan tidak sanggup untuk mencari Allah. Dalam kitab Roma jelas dituliskan oleh Rasul Paulus tentang kondisi manusia berdosa di hadapan Allah, yaitu tidak ada seorangpun yang berakal budi dan mencari Allah, mereka semua telah menyeleweng, tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik (Rm 3:11-12). Dengan demikian kita tahu bahwa standar yang dipakai Allah tentang perbuatan baik sangat berbeda dengan standar yang dipakai oleh manusia. Allah dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada manusia yang berbuat baik dan Nabi Yesaya juga telah menuliskan bahwa kesalehan manusia seperti kain kotor di hadapan Tuhan (Yes 64:6). Lalu jika perbuatan baik tidak dapat menyelamatkan manusia, apa yang harus dilakukan seseorang agar dapat diselamatkan ? Pertanyaan ini persis seperti yang ditanyakan oleh kepala penjara Filipi kepada Rasul Paulus dalam sebuah peristiwa yang dicatat dalam Kis 16:30, “….apakah yang harus aku perbuat, supaya aku selamat?”. Di saat kepala penjara Filipi ketakutan nyawanya akan melayang dan memohon pada Rasul Paulus, maka Rasul Paulus mengenalkan kepadanya keselamatan yang jauh melebihi dari apa yang dapat dia pikirkan, yaitu keselamatan di dalam Kristus. Melalui pemberitaan firman Tuhan yang disampaikan oleh Rasul Paulus, maka ia dan seisi rumahnya memberi diri dibaptis dan mereka sangat bergembira karena telah menjadi percaya kepada Allah (Kis 16:34).

Pernahkah kita menjadi begitu bersuka cita seperti kepala penjara Filipi dan seisi rumahnya karena dapat menjadi percaya kepada Allah? Ataukah kita hanya take it for granted selama ini anugerah yang telah Allah berikan? Manusia tidak dapat datang kepada Allah, jikalau bukan Allah yang mencarinya. Tuhan Yesus dengan sangat gamblang mengatakan tentang hal ini, bahwa “Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman” (Yoh 6:44).  Keselamatan adalah anugerah Allah dalam diri orang berdosa yang pro aktif melahirbarukan, menghidupkan kembali, dan membebaskan manusia dari belenggu dosa sehingga memampukan manusia untuk dapat datang kepada Kristus saat Injil itu diberitakan (Operating / Prevenient Grace). Tidak ada peran kehendak bebas manusia saat ia menerima Prevenient Grace, karena Allah sendiri yang menentukan sepenuhnya dalam kedaulatan-Nya untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa yang memperbudaknya. Setelah Allah membebaskan manusia dari belenggu dosa, maka anugerah Allah akan memelihara kehendak bebas manusia untuk memiliki kecenderungan melakukan segala perbuatan baik yang berkenan kepada Allah dan memuliakan-Nya. Mereka yang telah lahir baru akan timbul rasa haus untuk membaca Alkitab, sama seperti seorang bayi yang selalu merindukan susu yang murni ketika ia baru lahir (1Pet 2:2), dan tidak pernah berhenti belajar untuk memahami kehendak Allah yang tertulis di dalamnya. Di dalam hatinya kini ia memiliki sebuah hasrat baru untuk menyenangkan hati Tuhannya yang telah menyelamatkan dan membebaskannya dari belenggu dosa. Ia kini telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran (Rm 6:18). Pada tahapan Co-Operating Grace inilah, kehendak bebas manusia mulai ikut berperan. Seperti yang dituliskan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi, yaitu agar mereka mengerjakan keselamatan yang telah diterimanya dengan takut dan gentar, karena Allah sendiri yang turut mengerjakannya di dalam kita baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Fil 2:12-13). Anugerah Allah akan terus memelihara ketekunan umat pilihan sampai akhir hidupnya (Persevering Grace). Mereka yang telah diselamatkan juga akan dimintai pertanggung jawabannya kelak seperti dalam perumpamaan talenta, jika setia pada perkara kecil akan diberikan perkara yang besar.

Di antara banyaknya agama yang mengajarkan beragam solusi, mengapa orang Kristen percaya pada keselamatan di dalam Kristus? Bagaimana Alkitab mengajarkan keselamatan di dalam Kristus ini? Apakah keunikannya? Dalam bukunya Confessions, Santo Agustinus menuliskan pengakuan imannya, “You have made us for yourself, O Lord, and our hearts are restless until they rest in you.” Pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri, apakah selama ini kita menyembah Allah yang benar? Apakah kita sungguh-sungguh telah mencari-Nya? Mengapa saya ingin mencari-Nya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus sering kita tanyakan dengan kritis dan menjadi refleksi pribadi relasi kita dengan Allah.

Jika Alkitab telah mengatakan bahwa tidak ada yang mencari Allah (Rm 3:11), lantas apa yang manusia cari sebenarnya? Teori piramida kebutuhan Maslow menjelaskan bahwa ada motivasi daya atau kekuatan yang ada dalam diri manusia yang mendorong (drive) untuk bertingkah laku dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan (need) yang ada di dalam dirinya. Dengan adanya perbedaan persepsi kebutuhan utama manusia di dalam hidup ini, maka yang dicari juga akan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan seseorang ada di mana pada piramida kebutuhan Maslow. Tingkatan piramida kebutuhan tersebut dimulai dari yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis (basic needs), rasa aman dan perlindungan (security), rasa sayang (love & belongingness), penghargaan (self-esteem), aktualisasi diri dan transenden (kebutuhan akan Allah). Ada korelasi yang sangat kuat antara kebutuhan yang dianggap seseorang paling penting dengan siapa Allah dalam hidupnya? Apakah seseorang akan mengutamakan Allah sebagai pemelihara hidupnya, atau ia hanya memperalat Allah untuk memenuhi kebutuhannya?

Dosa telah mencemari pikiran manusia untuk dapat mengenal Allah yang benar, pengertian mereka menjadi gelap dan kecenderungan hati mereka selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej 6:5). Apa yang Alkitab katakan tentang manusia yang mencari Allah ? Dalam surat yang ditulis oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, dikatakan bahwa manusia telah gagal paham dalam mengenal Allah, mereka tidak dapat meresponi Allah dengan seharusnya, yaitu memuliakan Dia dan mengucap syukur kepada-Nya. Dosa telah mencemari pikiran, perasaan dan kehendak manusia untuk melakukan yang tidak seharusnya, dan tidak melakukan yang seharusnya mereka lakukan, yaitu hal-hal yang berkenan kepada Allah. Manusia berdosa menyembah Allah yang salah, dengan cara yang salah, dan di tempat yang salah. Mereka tidak menggunakan pikirannya secara kritis untuk membedakan mana Allah yang benar atau tidak benar, sejati atau palsu. Kebutuhan utama merekalah yang telah menjadi allah mereka, rasa takut kepada Allah tidak ada pada mereka (Rm 3:18).

Manusia selalu berusaha untuk menutupi rasa bersalah terhadap dosa dengan cara mereka sendiri. Sama seperti Adam dan Hawa, mereka bersembunyi di balik jubah agama, ritual ibadah keagamaan, aktivitas pelayanan, kegiatan sosial, dll. Tolok ukurnya adalah selalu diri mereka sendiri, dengan cara mereka sendiri yang membuat mereka merasa aman dan nyaman. Mereka berusaha untuk memperoleh keselamatan dengan hikmat dan kekuatan mereka sendiri (Autosoteric). Mereka berusaha untuk menjadi juruselamat bagi diri mereka sendiri, seperti halnya dengan seorang pemimpin agama yang muda dan kaya yang kisahnya ditulis dalam ketiga kitab Injil. Ia datang kepada Tuhan Yesus dengan membawa seluruh hasil prestasi rohaninya yang cemerlang untuk bertanya kepada-Nya, apakah dia layak untuk memperoleh hidup yang kekal? Apalagi yang harus ditambahkan agar ia mendapat konfirmasi dari Tuhan Yesus bahwa ia dapat memperoleh hidup yang kekal itu? Konsep keselamatan hidup yang kekal dalam pemahamannya adalah Self-Oriented dan bukan God-Oriented. Ia pikir bahwa ia bisa memperoleh hidup yang kekal dengan usahanya sendiri.

Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan itu adalah anugerah. Allah yang berinisiatif untuk bertindak menanamkan benih permusuhan antara manusia dan iblis, membawa kembali manusia kepada pihak-Nya (Kej 3:15). Bukan manusia yang memilih Allah, tetapi Allahlah yang memilih Nuh, Abraham, Israel dan mengikat perjanjian dengan mereka serta memberi hukum-hukumNya. Allah sendiri yang secara aktif mencari dan membawa manusia kepada keselamatannya. Allah menganugerahkan keselamatan bukan karena manusia menaati hukum-hukumNya, tetapi justru sebaliknya hanya karena anugerahlah yang memungkinkan manusia hidup sesuai dengan hukum-hukum Allah yang berkenan kepada-Nya.

Keselamatan dalam kekristenan bukanlah upah karena perbuatan baik, tetapi hanya karena anugerah Allah di dalam Kristus dan karya Roh Kudus yang melahirbarukan orang percaya. Allah adalah titik awal dari keselamatan, permulaan dari pemulihan hidup kita, dari yang fana menjadi yang bernilai kekal. Mungkin memang benar banyak jalan menuju Roma, tetapi hanya ada satu jalan keselamatan untuk manusia berdosa, yaitu hanya melalui Kristus sebagai jalan pendamaian satu-satunya yang memulihkan relasi manusia dengan Allah yang telah rusak akibat dosa (Rm 3:23-25a). Manusia dibenarkan / diperdamaikan dengan Allah jika mereka beriman kepada Kristus. Kehadiran Iman kepada Kristus adalah sebuah anugerah yang menunjukkan bahwa kita tidak mampu untuk memilikinya, ini bukan hasil usaha kita tetapi merupakan pemberian Allah supaya tidak ada orang yang dapat memegahkan dirinya (Ef 2:8-9).

Iman kepada Kristus memang sangat berbeda dengan iman-iman yang lain walau dalam manifestasinya, iman yang lain bisa begitu mengesankan. Iman kepada Kristus tidak bicara soal pencapaian prestasi rohani, perilaku dermawan ataupun pengorbanan yang dapat mengesankan manusia (I Kor 13:1-3) tetapi perkenanan Allah dan ketaatan dalam relasinya dengan Allah yang hidup itu (Ibr 11). Namun Alkitab juga menyaksikan bahwa jika hidup keagamaan kita yang mengaku memiliki iman kepada Kristus, tapi tidak melakukan hal-hal yang lebih benar dari perbuatan-perbuatan keagamaan iman-iman yang lain, maka Tuhan Yesus berkata celakalah kita (Mat 5:20), hal ini berarti iman yang kita miliki itu adalah iman yang mati yang tidak termanifestasi dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan benar (Yak 2:17). Bagaimana manusia berdosa bisa beriman kepada Kristus sehingga diselamatkan? Iman kepada Kristus hanya dapat dianugerahkan oleh Allah melalui karya Roh Kudus. Roh Kudus yang memenuhi tubuh inkarnasi Kristus adalah roh yang sama yang akan memenuhi tubuh Kristus yang baru, yaitu Gereja-Nya untuk melanjutkan pekerjaan Kristus selama inkarnasi (Kis 2:33, Yoh 14:12). Mereka yang telah menerima anugerah keselamatan itu tidak mungkin bermalas-malasan dan masih memiliki agenda pribadi dalam kehidupan mereka lagi, karena hidup yang mereka hidupi sekarang ini adalah hidup oleh iman dalam Kristus yang telah mengasihi dan menyerahkan diri-Nya untuk mereka (Gal 2:20). Mereka telah menjadi hamba Kristus, yang terpanggil untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuan mereka. Adakah panggilan itu di dalam hidup kita selama ini? Apakah kuasa Roh Kudus membawa diri kita semakin mendekat kepada Allah? Apakah saya memiliki kehausan akan kebenaran Firman Tuhan? Semua ini adalah tanda-tanda yang mungkin akan timbul jika kita ada di jalan yang benar dalam pencarian kita akan Allah yang benar. Kasih dan kemurahan Allah diberikan kepada manusia bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi semua karena rahmat-Nya, melahirbarukan dan memperbaharui melalui karya Roh Kudus yang dilimpahkan kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita supaya kita sebagai orang yang dibenarkan  oleh kasih karunia-Nya berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita. Roh Kudus akan membawa setiap orang percaya kepada seluruh keselamatan (Titus 3:4-7).

Soli Deo Gloria…

Di Manakah Engkau ?

Saat kita sedang tersesat di jalan dan mencoba untuk melihat peta, pastilah hal pertama yang kita lihat adalah posisi kita saat itu sedang ada di mana. Demikian pula dengan manusia pertama, Adam, setelah ia dan istrinya melanggar perintah Allah dan jatuh ke dalam dosa, maka hal pertama yang Allah tanyakan kepadanya adalah “Di manakah engkau?”. Allah menanyakan kepada Adam bukan berarti Allah tidak tahu ia ada di mana, karena Allah jelas adalah Allah yang Maha Tahu. Tapi Allah ingin Adam menyadari posisinya, bahwa setelah ia makan buah dari pohon yang terlarang, maka ia sudah tidak lagi terikat dengan Allah. Ia dan istrinya, Hawa sudah terpisah dari Allah. Manusia telah tertipu oleh si iblis, sang pendusta dan bapa segala dusta. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan di dalam dia tidak ada kebenaran (Yoh 8:44).

Mengapa dari sekian banyak pohon yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya, ditambah dengan buah dari pohon kehidupan yang adalah sumber kehidupan kekal dari Allah sendiri, manusia masih tetap ingin memakan buah dari pohon yang terlarang? Padahal mereka sudah diberi tahu bahwa konsekuensinya pasti mati jika memakannya (Kej 2:17). Hal ini sama dengan mengatakan “Jangan minum racun ini, jika engkau meminumnya pasti akan mati”. Dan bila telah diperingatkan sebelumnya, namun tetap kita abaikan karena tertipu rayuan iblis yang memanipulasi racun menjadi madu, bukankah itu karena kebodohan dan kebebalan kita sendiri yang lebih percaya pada iblis daripada Allah?

Mengapa Allah mengizinkan / membiarkan manusia jatuh ke dalam dosa? Apakah Allah menghendaki manusia jatuh ke dalam dosa? Dari manakah sebenarnya asal dosa itu? Apakah dosa diciptakan Allah? Semua pertanyaan-pertanyaan ini pasti pernah timbul dalam pemikiran kita yang mencoba untuk memahami asal mula kejatuhan manusia ke dalam dosa. Allah yang baik, kudus dan kasih bukanlah pencipta / pembuat dosa. Dia tidak menciptakan dosa karena dosa bukan substansi, material / immaterial dan Dia juga tidak menghendaki manusia jatuh ke dalam dosa. Namun dosa tetap berada di dalam kehendak Allah sebagai hubungan sebab akibat, yang dapat timbul dari dalam diri manusia itu sendiri jika manusia menyalahgunakan kehendak bebasnya untuk melawan Allah. Manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah berbeda dengan binatang, manusia adalah makhluk moral dan rasional dengan kehendak bebas yang memiliki kemungkinan berdosa. Dosa timbul sebagai akibat dari manusia yang memakai kehendak bebasnya alih-alih untuk mengasihi dan menaati Allah, manusia memilih untuk melawan perintah Allah. Manusia ingin hidup bebas dari otoritas Allah, ingin lepas dari ketergantungannya pada Allah, dan ingin menjadi seperti Allah. Jadi dosa bukanlah substansi, material atau immaterial tetapi fenomena etis yaitu sebuah anti dari etis (ethical antithesis). Hal ini berarti etis relasi dengan Allah yang melenceng dari sasaran yang telah ditentukan oleh Allah, agar manusia dapat hidup menikmati Allah dalam kasih dan anugerah-Nya. Manusia dicipta untuk dapat berelasi dengan Allah, dan dosa yang hanya bisa dilakukan oleh makhluk moral / rasional telah merusak relasi dengan Allah dan membuat manusia hidup terpisah dari Allah. Kita harus memahami bahwa dosa tidak pernah berada di luar pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan Allah. Dosa hadir atas seizin Allah sebagai akibat dari manusia yang menyalahgunakan kehendak bebasnya untuk melawan perintah Allah.

Pertanyaan lain yang mungkin dapat timbul dari pemikiran kita adalah mengapa Allah sengaja menaruh pohon pengetahuan yang dapat mematikan manusia itu di tengah-tengah taman? Sepertinya itu lokasi yang paling strategis di taman tersebut, yang tentunya akan dilewati oleh manusia setiap harinya. Mengapa pohon yang berbahaya ini tidak dihilangkan saja agar tidak membuat manusia jatuh ke dalam dosa dan dapat hidup berbahagia bersama dengan Tuhan selama-lamanya? Cinta dan kesetiaan yang tidak pernah diuji dengan yang telah melewati ujian tentunya akan berbeda kualitasnya. Allah meletakkan dua pohon utama, yaitu pohon kehidupan dan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat tentunya memiliki kepentingan khusus. Pohon Kehidupan adalah sumber kehidupan dari Allah sendiri yang mungkin dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kematian jasmaniah. Pohon ini dikaitkan dengan hidup kekal dalam Kej 3:22. Umat Allah akan menikmati pohon kehidupan di langit dan bumi yang baru (Why 2:7, 22:2). Pohon “pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” dirancang untuk menguji iman dan ketaatan Adam kepada Allah dan firman-Nya.

Sebenarnya apakah makna pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu? Alkitab mengajarkan bahwa pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu adalah kemampuan dan kapasitas untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat dari dalam diri manusia itu sendiri, terlepas dan terpisah dari Allah. Inilah mengapa Allah melarangnya, karena saat manusia memakannya maka manusia telah mendeklarasikan bahwa mereka melawan Allah. Manusia memosisikan diri mereka sama seperti Allah, yaitu berada di luar dan bahkan di atas hukum Allah, bersifat independen dari Allah. Pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat bukanlah soal content tentang kebaikan dan kejahatan, tetapi lebih kepada bagaimana cara manusia ingin meraihnya. Yang diuji oleh Tuhan bukanlah keinginan manusia untuk mendapatkan “pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”, tetapi manusia ingin mendapatkan hal yang baik itu dengan cara yang bagaimana? Menuruti iblis dan melawan Allah? Atau menaati Allah dan melawan iblis?

Manusia akhirnya mengambil keputusan untuk menuruti iblis dan ingin menentukan sendiri baik dan jahat di luar sumber kebenaran itu sendiri, yaitu Allah. Memakan buah dari pohon terlarang tersebut telah menjadikan manusia berorientasi pada kebenaran mereka sendiri. Peristiwa dalam Kej 3:22 telah menunjukkan kegagalan manusia dalam menghadapi ujian kesetiaan yang diberikan oleh Allah. Mereka mengikuti hawa nafsunya dan abai terhadap bahaya peringatan Allah, serta tidak menghiraukan lagi rencana Allah bagi diri mereka. Mereka pikir mereka akan menjadi seperti Allah, tetapi justru yang terjadi adalah gambar dan rupa Allah yang ada pada manusia menjadi rusak akibat dosa. Mereka bahkan bersembunyi, membela diri dan menjauhi Allah sebagai sumber keadilan dan kesucian. Karena mereka tidak lagi menempel pada sang sumber kebenaran dan tolok ukur kebenaran yang mereka pakai sekarang adalah diri mereka sendiri, yang sudah tercemar oleh dosa. Segala sesuatu yang mereka pikir baik tidak lagi dapat memenuhi standar Allah karena bukan berasal dari Allah, sehingga manusia tidak mungkin dapat berkenan dan menyenangkan hati Allah, jika Allah tidak berbelas kasihan kepada manusia. Rasio dan perasaan manusia tidak pernah hilang karena berdosa, tetapi tidak lagi dipakai untuk melayani Allah, yang seharusnya diciptakan untuk memuliakan Allah dengan kehendak bebasnya di dalam kasih. Dosa menyebabkan manusia hidup dalam guilt dan corruption, yang menjadikan manusia musuh Allah, mengabaikan kehadiran-Nya bahkan sampai berani memperalat Allah untuk memenuhi hawa nafsu dan keinginannya.   

Mengapa manusia lebih memilih untuk berdosa, bukankah kita tahu bahwa kasih Allah tidak terbatas dan anugerah-Nya sangat besar bagi kita? Kita juga tahu bahwa Allah memelihara kita dengan memberikan kehidupan dan apa yang kita butuhkan. Semua ini seharusnya menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk kita tidak lagi berbuat dosa. Namun realitanya manusia berdosa sering memilih yang salah daripada yang benar. Mereka puas dengan hal-hal yang sementara daripada yang memiliki nilai kekal, hal yang jauh dari sempurna, dan puas dengan hal yang defect (settle for less). Manusia lebih suka menerima hormat seorang dari yang lain daripada mencari hormat yang datang dari Allah (Yoh 5:44). Manusia rela untuk melakukan sesuatu agar dapat diterima keberadaannya atau untuk mendapat pujian dengan mengorbankan integritasnya, bahkan sampai berani memanipulasi kebenaran firman Tuhan demi keuntungan materi yang ingin dicapai. Padahal Allah telah memberikan kepada kita kasih-Nya yang sempurna. Allah mau mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya yang dikasihi-Nya, agar Dia dapat menjadi Bapa di surga yang senantiasa akan memelihara kita menurut kekayaan kasih karunia-Nya (Fil 4:19).

Dosa telah mengakibatkan orientasi hidup manusia berubah sedemikian rupa, sehingga segala kemampuan dan kekuatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia tidak lagi dipakai untuk melayani Allah, tetapi untuk menuruti kedagingannya. Manusia telah menempatkan dirinya menjadi yang utama (self-oriented) yang harus diikuti. Actual Sin dapat terwujud karena kebersalahan dan kekorupan manusia. Martin Luther mengatakan bahwa manusia berdosa menggunakan “will” mereka yang “free” untuk hal-hal yang jahat. Manusia berdosa akan secara aktif melawan Allah, mereka akan menindas kebenaran dengan kelaliman, sekalipun mereka mengenal Allah, tapi mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah, pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi sebenarnya mereka telah menjadi bodoh. Mereka telah menggantikan Allah dengan segala sesuatu yang fana, yaitu dengan kedagingan mereka, yang bukan ‘allah’ telah dijadikan ‘Allah’ oleh manusia, itulah dosa (Rm 1:18-23). Dosa dilihat dari perspektif etis-spiritual maka dosa adalah sebuah lawan dari etis (ethical antithesis) dari kebaikan. Dosa adalah parasit atas segala sesuatu yang baik.

Kondisi manusia yang sekarang sama seperti Adam dan Hawa yang jatuh ke dalam dosa, jangan mengulang lagi apa yang telah dilakukan oleh mereka, yaitu bersembunyi dan mencoba untuk membela diri dengan menyalahkan siapa saja yang bisa disalahkan ketika Allah datang untuk konfrontasi dengan mereka. Pemazmur mengajarkan pada kita untuk menjauhi yang jahat dan lakukanlah yang baik, mencari perdamaian dan berusaha untuk mendapatkannya. Allah dekat kepada orang-orang yang hancur hatinya dan menyelamatkan mereka yang remuk jiwanya (Mzm 34:14,18). Datanglah kepada Tuhan dengan hati yang hancur dan benar-benar rindu untuk dibenarkan, dikuduskan dan diperbaharui oleh Allah. Ada di manakah posisi kita sekarang ini? Adakah rasa haus akan kebenaran firman Tuhan di dalam diri kita? Keberdosaan manusia adalah sesuatu yang nyata dan korupsi dalam pikiran kita adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Adakah perasaan yang timbul dari dalam diri kita, yang membuat kita terdorong untuk mencari kebenaran Allah yang sejati? Atau selama ini kita hanya mengandalkan perasaan kita sendiri sebagai tolok ukur kebenaran yang kita percayai? Apakah sekarang kita sedang berjalan menjauh dari atau mendekat kepada Tuhan ? Di mana pun posisi kita sekarang ini, kita harus mulai bergerak mendekat kepada Allah. Mengakui kita ini sebagai orang yang telah jatuh ke dalam dosa, Allah sendiri yang akan mengembalikan hal-hal yang baik yang pernah hilang dari diri kita akibat dosa. Sebab Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah, mereka akan dibenarkan dan dimuliakan-Nya (Rm 8:28,30).

Soli Deo Gloria…

Imago Dei : Manusia yang Memuliakan Allah

Pernahkah kita membayangkan bahwa manusia di masa depan adalah manusia yang memiliki kekebalan terhadap segala macam penyakit, tidak bisa menua dan memiliki kecerdasan otak seperti komputer ? Ternyata ini bukan sekadar imajinasi belaka, karena saat ini para peneliti sedang mengembangkan teknologi genetik seperti Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR), yang memungkinkan manusia di masa depan untuk mengendalikan gen dan DNA sampai pada titik di mana kita bisa kebal terhadap penyakit atau menghentikan penuaan. Dan berdasarkan laporan dari Wall Street Journal, perusahaan teknologi yang dibangun Elon Musk, saat ini tengah mengembangkan alat yang bisa diimplan ke otak manusia, agar manusia bisa bergabung dan menyesuaikan kesadarannya dengan perangkat lunak sebagai usaha pengembangan kecerdasan buatan. Sistem ini diberi nama Neuralink, yang akan memasukkan kesadaran manusia dalam sistem komputer buatan. Tujuan akhirnya adalah supaya manusia tidak lagi membutuhkan komputer untuk melakukan pekerjaan komputasi, tetapi mereka bisa secara langsung menggunakan kesadaran dan otaknya untuk bisa bekerja seperti komputer. Ini seperti memadukan tubuh biologis dengan teknologi komputer di masa depan. Tujuan akhir dari penelitian ini jika sukses, maka otak manusia akan menjadi lebih cepat, lebih pintar, dan lebih efektif dalam berpikir. Luar biasa bukan…?

Siapakah Pencipta Agung yang dapat menciptakan makhluk ciptaan seperti manusia yang sebegitu pandai dan kreatif ini ? Teori Lamarck mengasumsikan bahwa manusia berasal dari sekelompok kera, yang terus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, melatih diri hingga memiliki keterampilan yang semakin lama semakin menyerupai wujud manusia. Asumsi ilmiah yang lain, Teori Darwin menyimpulkan bahwa manusia dan kera berasal dari nenek moyang yang sama. Perlu kita sadari bersama bahwa Scientific Result (Evidence) bukanlah Scientific Assumption (Theory), bukti ilmiah tidaklah sama dengan asumsi ilmiah. Keduanya harus dapat dibedakan, karena asumsi ilmiah masih harus melewati tahapan proses selanjutnya, sehingga baru dapat menjadi sebuah bukti yang kuat terhadap penelitian ilmiah.

Darwinism tidak mampu menjelaskan asal mula kehidupan. Ia percaya bahwa sesuatu yang hidup dapat berasal dari yang mati, tetapi tidak bisa menjelaskan atau membuktikannya. Darwinism tidak mampu menjawab pertanyaan tentang asal-usul manusia, bukti-bukti positif manusia berasal dari binatang tidak pernah ada, kesimpulan adanya spesies tradisional baru merupakan sebuah asumsi saja. Darwinism juga tidak mampu untuk menjelaskan asal mula dimensi psikologis manusia yang memiliki kesadaran, agama, bahasa, sense of morality, dll. Semua kualitas yang ada dalam diri manusia tidak sepadan dengan yang ada pada binatang dan juga tidak ditemukan spesies yang berada di antara manusia dan binatang. Kualitas rasionalitas dan kreatifitas manusia telah terbukti sangat berbeda dengan binatang, misalnya seekor laba-laba dalam membuat jaringnya hanya memiliki varian yang terbatas saja, tetapi daya cipta dan kreatifitas manusia tidak terhitung dan tidak terbatas. Jauh sebelum Teori Darwin ada, Teori Evolusi sendiri lahir pada abad ke-17, di mana spirit filsafat rasionalisme modern sedang berkembang pesat di zaman itu, sebagai akibat manusia ingin melepaskan diri dari pengaruh agama yang korup, kisah penciptaan dan theism. Manusia mendeklarasikan dirinya, bahwa mereka tidak membutuhkan sumber-sumber di luar diri manusia itu sendiri. Rasionalitas manusia menjadi pusat paradigma utama yang mereka agungkan.

Allah menciptakan manusia dan binatang dari debu tanah dan pada hari yang sama, yaitu hari keenam, namun dalam proses penciptaan dan kualitasnya sangat berbeda. Ketika Allah ingin menciptakan manusia, yang dapat kita lihat dalam Kej 1:26, sepertinya Allah ingin mendeklarasikan sebuah hal yang sangat penting dalam dewan musyawarah-Nya (Yer 23:18,22), yaitu bahwa Allah pada hari itu akan menciptakan suatu makhluk hidup yang serupa dan segambar dengan diri-Nya sendiri yaitu manusia. Peristiwa penciptaan manusia pertama ini (Adam), kemungkinan juga turut disaksikan oleh seluruh bala tentara sorga (1Raja 22:19, Luk 2:13). Adam dan Hawa, laki-laki dan wanita, keduanya diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah (Imago Dei). Dalam konteks modern, mungkin bisa dikatakan manusia memiliki DNA-nya Allah, sehingga jiwa atau roh manusia diciptakan begitu rupa dengan segala potensi dan kemampuan untuk merepresentasikan Allah yang tidak dapat dilakukan oleh ciptaan yang lainnya. Manusia juga memiliki Human Faculties dalam kapasitasnya sebagai manusia seperti kehidupan psikis, emosi, keinginan, kehendak, berpikir, memiliki rasio, mengetahui, menganalisis, membandingkan, dll. Manusia juga memiliki Virtues of Knowledge, Righteousness dan Holiness yang dimiliki oleh Allah dalam kesempurnaan-Nya, yang juga dapat digambarkan oleh manusia, tapi dalam keterbatasannya sebagai makhluk ciptaan, manusia tetaplah bukan Allah. Pemazmur menyaksikan bahwa Allah telah membuat manusia hampir seperti diri-Nya sendiri, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat (Maz 8:5). Menurunkan derajat ciptaan manusia yang memiliki citra Allah menjadi sederajat dengan binatang sama saja dengan menghina Allah, Sang Pencipta itu sendiri.

Berdasarkan gambar dan rupa Allah ini, tujuan manusia diciptakan tidak pernah ada dalam kondisi netral, tetapi untuk melayani Allah dalam posisi dan segala keunikan yang Tuhan kehendaki bagi kita untuk dikerjakan dalam dunia ini. Berdasarkan gambar ini, manusia dapat menanggapi dan bersekutu dengan Allah, yang secara unik mencerminkan kasih, kemuliaan dan kekudusan-Nya. Manusia memiliki keunikan, martabat yang sangat tinggi dan menjadi partner kerja Allah untuk mengerjakan mandat budaya dan hal-hal yang mulia di atas bumi ini. Sebelum peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, mereka memiliki banyak privilege, karena mereka tidak berdosa dan kudus. Mereka juga memiliki hikmat Allah, hati yang mengasihi dan kehendak untuk melakukan yang benar (Ef 4:24). Mereka hidup dalam persekutuan pribadi dengan Allah yang meliputi ketaatan moral (Kej 2:16-17) dan relasi yang intim. Ketika Adam dan Hawa berdosa, keserupaan moral dengan Allah ini tercemar, kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej 6:5). Hanya melalui proses penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus, orang percaya baru dapat diperbaharui kembali kepada keserupaan moral itu lagi (Ef 4:22-24, Kol 3:10).

Pengertian maksud dari gambar Allah (Imago Dei) dalam pandangan Reformed adalah bukan hanya sekadar kualitas yang baik saja, tetapi keseluruhan natur manusia itu sendiri yang terdiri dari tubuh dan jiwa / roh, kualitas fisik dan spiritualnya. Ketika jatuh ke dalam dosa, Imago Dei itu tidak hilang tapi rusak / korup akibat dari hilangnya kualitas spiritual manusia. Manusia bukan lagi makhluk spiritual yang memiliki hubungan yang erat dan intim dengan Penciptanya, sang sumber keadilan, kebaikan dan kebajikan, sehingga tidak ada satupun dari diri manusia yang tidak menunjukkan kekorupannya. Saat manusia yang satu melihat manusia yang lainnya, mereka terhalang untuk melihat Allah yang Maha Kasih, Maha Adil, dan Maha Kudus itu, karena gambar yang telah rusak tersebut. Dosa telah membuat manusia merepresentasikan gambar Allah yang keliru.

Alkitab telah menyaksikan, bahwa gambar dan rupa Allah yang telah rusak akibat dosa telah membuat manusia kehilangan relasinya dengan Allah yang Maha Kudus itu (Rm 3:23). Manusia tidak lagi ingin melibatkan Allah dalam setiap aspek kehidupannya. Segala potensi dan kualitas yang baik yang ada dalam diri manusia, kini tidak lagi dipakai oleh manusia untuk mewujudkan kehendak Allah dan menyenangkan hati-Nya, yaitu dengan melakukan pekerjaan baik yang berkenan kepada-Nya (Ef 2:10). Beberapa realita kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia, seperti yang telah dituliskan di awal sebelumnya, semakin lama akan membuat manusia semakin jauh dari kebutuhan dan ketergantungannya pada Allah sebagai penolong dan pemelihara hidupnya. Manusia dengan kualitas kepandaian intelektual yang dianugerahkan Allah, dapat menjadi bumerang bagi dirinya sendiri jika dipakai terlepas dari Allah. Mereka akan terus berusaha untuk melengkapi apa yang masih lemah dan kurang pada dirinya sendiri, hal ini persis seperti tragedi di Taman Eden. Penyakit, Penuaan dan Kematian adalah tiga hal yang paling ditakuti dan dihindari oleh manusia, sehingga manusia akan berusaha dengan segala cara untuk dapat mengatasi ketiga hal ini. Kondisi manusia di akhir zaman ini walau tampilan fisik dan otak semakin lama akan semakin cemerlang, tapi manusia batiniah mereka semakin lama akan semakin bobrok. Hal ini kebalikan dari apa yang telah dituliskan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, yaitu kami tidak tawar hati, meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal (2 Kor 4:16,18).

Teknologi penyuntingan gen seperti CRISPR yang dapat merekayasa organisme sesuai dengan kehendak manusia dan teknologi kecerdasan buatan Neuralink yang dapat diimplan ke dalam otak manusia, membuat manusia sepertinya sudah ikut campur dalam urusan Sang Pencipta. Kejatuhan manusia selalu diawali dengan keinginan manusia untuk menjadi Tuhan atas dirinya sendiri. Manusia tidak ingin menundukkan diri dan berada di bawah otoritas Tuhan sebagai Penciptanya serta menggantungkan diri kepada-Nya. Manusia ingin bebas yang sebebas-bebasnya, ia tidak menyadari bahwa hal itu justru akan membawa mereka kepada kebinasaan kekal. Ikan memiliki kebebasan untuk berenang ke mana pun mereka mau selama masih tetap berada dalam lingkungan hidupnya, jika di luar itu maka mereka akan mati. Demikian juga Allah memberikan manusia kehendak bebas bukan agar manusia dapat hidup sebebas-bebasnya sampai memisahkan diri dari Allah, jika demikian maka manusia pasti akan mati. Kehendak bebas diberikan Allah kepada manusia untuk dapat berelasi dengan-Nya. Kapasitas untuk mengasihi Allah ditandai dengan adanya kehendak bebas manusia, sehingga sifatnya bukan paksaan tetapi mutable. Allah menciptakan manusia pertama sempurna tanpa cacat, tetapi tetap memiliki keterbatasan dalam kesempurnaannya. Ketaatan pada perintah Allah menjadi syarat utama dan satu-satunya agar manusia tidak jatuh ke dalam dosa, namun sayangnya tragedi di Taman Eden telah menyaksikan, bahwa manusia lebih memilih untuk menerima tawaran iblis yang manipulatif, daripada taat kepada perintah Allah yang pasti membawa kebaikan dan memberi kehidupan kepada manusia. Hidup manusia tidak akan mungkin terpisah dari Allah dan tidak bergantung kepada-Nya, baik sebelum maupun sesudah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Tipu muslihat iblis selalu ingin menjauhkan manusia dari ketergantungannya kepada Allah, Sang pemberi nafas kehidupan.

Pernahkah kita sungguh-sungguh berpikir dan merenungkan mengapa kita ada di dunia ini dan untuk apa kita diciptakan? Jika kita tidak mengerti mengapa kita ada dan diciptakan maka kita hanya mengayunkan langkah kaki semau kita, mendesain hidup kita ke jalan yang keliru, yang akan semakin menjauhkan kita dari Tuhan. Jika kita dapat memahami ini lebih cepat maka kita mungkin dapat menghemat waktu yang Tuhan telah sediakan bagi setiap kita, untuk mewujudkan apa yang telah direncanakan Tuhan bagi kita. Allah menciptakan setiap manusia dengan satu tujuan, dan hanya Dia yang memiliki gambaran yang utuh dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kita harus bertanya kepada diri sendiri apakah kita peduli terhadap tujuan Tuhan yang disediakan bagi hidup kita? Atau kita selama ini hanya sibuk dengan tujuan kita sendiri dan hidup terpisah dari Allah? Apakah kita sungguh-sungguh telah memper-Allah-kan diri-Nya sebagai Allah yang berkuasa memerintah dalam hidup kita, atau kita hanya sekadar memperalat Allah untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri kita sendiri? Semua pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya dapat kita jawab dengan jujur jika kita sungguh-sungguh telah memiliki relasi dengan Allah. Sama halnya jika kita dekat api panas, dan dekat es dingin, maka orang yang dekat dengan Allah akan memancarkan kebaikan dan kemuliaan Allah. Orang yang menjauh dari Allah justru akan memancarkan hal yang sebaliknya, yaitu akan mempermalukan Allah. Dari buahnya pohon itu akan dikenal (Mat 12:33). Allah menciptakan manusia dengan satu tujuan yaitu agar Allah yang dimuliakan. Ini berarti tujuan hidup manusia juga seharusnya disesuaikan kembali kepada tujuan Allah. Westminster Shorter Catechism merumuskan bahwa “Man’s chief end is to glorify God, and to enjoy Him forever.” Memuliakan Allah berarti kita tidak menyia-yiakan hidup kita yang hanya sementara ini dan menyadari betul-betul anugerah-Nya yang diberikan kepada untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik. Kita harus melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan mengembalikan semuanya kepada Tuhan. Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya (Rm 11:36).

Soli Deo Gloria