The Age of Humanity

Dalam menguji doktrin evolusi mengenai perhitungan usia bumi dan kapan peradaban manusia dimulai, Bavinck memberikan sebuah pernyataan penting yaitu hal yang harus diingat adalah walau para scientist memberikan perhitungannya berdasarkan penemuan-penemuan pile dwellings, tulang-tulang dan tengkorak yang ditemui dalam gua-gua dekat Liege, Amiens, Dusseldorf dan banyak tempat lainnya, dalam rentang waktu tiga periode Arkeologi yaitu Stone, Bronze dan Iron Ages, semua perhitungan ini hanya berangkat dari landasan hipotesa yang jauh dari kepastian yang absolut. Hal ini berarti walau para scientist dapat menyebutkan estimasi perhitungannya yang begitu besar yaitu 10-100jt tahun tetapi mereka tidak memiliki dukungan material sejarah terhadap periode yang telah berlalu begitu lama. Menurut Bavinck, estimasi perhitungan akan lebih tepat jika memakai pendekatan dari catatan sejarah sebuah negara yang memiliki sejarah paling tua yaitu Mesir dan Babylonia. Dapat ditelusuri melalui hasil karya-karya besar mereka di masa lalu, namun hal ini juga akan mengalami kesulitan dalam menentukan kronologi sejarahnya karena setiap murid yang belajar sejarah kuno memiliki kronologi sejarah mereka masing-masing yang berbeda. Bavinck menyebutnya “it is a labyrinth without a thread to guide the inquirer. Only in the case of the people of Israel can we actually speak of a history and a chronology”. Fritz Hommel mengatakan kronologi 1000 thn pertama B.C. tercatat dengan sangat baik, 1000 thn kedua B.C. hanya ada beberapa poin yang pasti dan 1000 thn ketiga, yaitu 2000 B.C. segala sesuatunya menjadi tidak pasti. Menurut Bavinck, estimasi perhitungan yang paling dapat dipercaya adalah sekitar 5000-7000 B.C. Berdasarkan perhitungan yang biasanya dimulai dari banjir yang terjadi pada zaman Nuh yaitu 2348 B.C., ada rentang periode selama 450 tahun sampai pada masa panggilan Abraham yang terjadi pada 1900 B.C., rentang waktu ini cukup lama untuk munculnya kerajaan-kerajaan yang cukup kuat, yang berkembang di area sepanjang Sungai Efrat dan Nil.

Penulis setuju dengan pandangan Bavinck bahwa estimasi usia bumi dan dimulainya peradaban manusia sekitar 5000-7000 B.C, mendekati perhitungan mundur yang dimulai dari terjadinya banjir Nuh pada 2348 B.C. Hal ini juga selaras dengan catatan Alkitab tentang kisah penciptaan bumi dan manusia pertama Adam dan Hawa yang terjadi selama 6 hari. Lamanya waktu satu hari dalam catatan Alkitab bisa dipahami berdasarkan 2 Pet.3:8 yaitu di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari. Kesaksian Paulus di Areopagus pada orang-orang Yunani dalam Kis.17:26 juga telah meluruskan isu asal usul manusia bahwa dari satu orang saja, Allah telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka.         

Penulis sangat bersyukur pada Tuhan karena hanya anugerah-Nya, kita boleh memiliki pemahaman yang absolut melalui wahyu khusus-Nya. Tanpa terang dari wahyu khusus tidak mungkin kita dapat memahami wahyu umum secara tepat bahkan dapat berkontradiksi. Ilmu yang dapat kita temukan melalui kebenaran wahyu umum seharusnya dapat memperkaya pengenalan kita terhadap Allah (wahyu khusus), yang tentunya akan semakin meneguhkan Iman kita dan bukan sebaliknya malah menjauhkan kita dari kebenaran Tuhan yang mutlak.   

Only The Beginning

Bavinck menuliskan bahwa penciptaan manusia pertama, Adam, adalah awal dari perjalanan hidupnya, bukan akhir untuk selamanya. Kondisi Adam saat diciptakan tidak berada pada posisi yang sifatnya kekal, tapi bersifat conditional, yaitu selama Adam taat berpegang kepada perintah Tuhan maka ia akan tetap dalam keadaan naturnya sebagaimana ia diciptakan, ia dapat memiliki relasi yang intim dengan Tuhan, memiliki hukum moral yang telah tertulis dalam hatinya, memiliki segala pengetahuan dan akal budi yang dianugerahkan Tuhan untuk memelihara bumi dan makhluk ciptaan Allah lainnya. Namun hal ini akan berubah jika Adam melanggar perintah Tuhan. Bavinck menekankan bahwa relasi Tuhan dengan manusia sebenarnya terikat dalam sebuah covenant. “Generally, a covenant is an agreement between persons who voluntarily obligate and bind themselves to each other for the purpose of fending off an evil or obtaining a good”. Ia juga mengatakan bahwa “True religion, accordingly, cannot be anything other than a covenant, it has its origin in the condescending goodness and grace of God”.

Setelah membaca bagian ini penulis semakin menyadari betapa pentingnya peran Yesus Kristus sebagai mediator dari perjanjian awal yang telah dilanggar dan dikhianati oleh manusia terhadap Allah (Hosea 6:7). Dan benarlah apa yang tertulis dalam Yoh.14:6, bahwa hanya melalui Yesus Kristus, yang mendamaikan kita dengan Allah, manusia yang telah mengkhianati covenant awal dapat berbalik kembali kepada Allah Bapa oleh karena terhisap perjanjian anugerah (covenant of grace) melalui pribadi Yesus Kristus. Munculnya agama dalam berbagai bentuknya adalah manifestasi dari natur manusia pertama, di mana hukum moral telah tertulis di dalam hatinya. Namun kejatuhan dalam dosa telah membuat natur manusia tidak lagi berorientasi pada Allah tetapi hanya pada kepentingan dirinya sendiri. Manusia telah melanggar covenant yang mengikat relasinya dengan Allah, Sang Pencipta, dengan demikian manusia kehilangan arah dan kebenaran Allah. Dengan berbekal pengetahuan dan akal budi yang telah dianugerahkan, manusia berusaha untuk mencari Allah dengan kebenarannya sendiri, dengan mengandalkan kompas hukum moral yang masih tersisa karena telah tertulis di dalam hatinya saat mereka diciptakan. Agama seharusnya menjadi langkah awal bagi manusia untuk menemukan kembali kebenaran Allah yang telah hilang itu dalam dirinya akibat dosa dan pencarian itu akan terus bergerak sampai akhirnya oleh karena kasih karunia Allah, mereka dapat menemukan pribadi Yesus Kristus, yaitu Jalan, Kebenaran dan Hidup yang akan menuntun kita berbalik kembali kepada Allah Bapa (Yoh.14:6).

Agama yang sejati haruslah berawal dari pencarian manusia akan kebenaran Allah yang terikat dalam sebuah perjanjian (covenant). Hukum moral, akal budi dan pengetahuan yang dianugerahkan Allah pada manusia, janganlah sampai menjadi batu sandungan bagi kita sendiri dalam pencarian akan pengenalan terhadap Allah yang benar. Kita yang telah dicelikkan akan kebenaran Allah yang sejati itu, sudah seharusnya memiliki tanggung jawab dan beban moral untuk menjadi saksi Kristus dan memberitakan-Nya bahwa tidak ada jalan lain bagi manusia untuk datang kepada Allah Bapa kecuali hanya melalui Yesus Kristus, mediator perjanjian anugerah (covenant of grace) kita dengan Allah.

Gambar dan Rupa Allah

Berdasarkan apa yang tertulis dalam Alkitab dan pengakuan iman Reformed, maka Bavink memberikan sebuah highlight bahwa manusia tidak dikatakan memiliki gambar dan rupa Allah tetapi manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej.1:26, 9:6). Manusia adalah gambar dan rupa Allah itu sendiri. Alkitab memberi kesaksian bahwa manusia adalah anak Allah (Luk.3:38), keturunan Allah (Kis.17:28), menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah (IKor.11:7). Tidak ada satu pun dalam diri manusia yang berada di luar gambar dan rupa Allah. Saat ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain memperlihatkan vestiges of God, tetapi hanya manusia yang adalah image of God.

Diciptakan serupa dan segambar dengan Allah adalah merupakan sebuah privilege yang dengan kontras dapat membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hatimu (heart),segenap jiwamu (soul),segenap akal budimu (mind) dan segenap kekuatanmu (strength) (Mrk.12:30). Dengan demikian jelas bahwa manusia adalah sebuah pribadi yang memiliki kemampuan berpikir, merasa dan berkehendak, serta kemampuan yang dipercayakan Tuhan pada manusia untuk mengelola ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya dan semua itu berada dalam kuasa manusia. Allah melihat segala sesuatu yang diciptakan-Nya itu sungguh amat baik (Kej.1:31). Penulis berpikir jika memang demikian baik dan sempurnanya manusia diciptakan pada mulanya maka segala atribut yang ada dalam diri manusia pasti memampukannya untuk mengasihi Allah, mencintai dan ingin menaati perintah-Nya dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Tuhan Yesus. Apakah sesungguhnya yang membuat mahakarya ciptaan Tuhan yang sempurna ini dapat jatuh ke dalam dosa? 

Penciptaan adalah karya Tuhan Allah yang sempurna, khususnya manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Ini berarti segala potensi untuk hidup sempurna yang sesuai dengan kehendak-Nya telah Tuhan berikan dalam diri manusia pertama yang diciptakan-Nya. Bahkan manusia memiliki kuasa atas ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya (Kej.1:26). Mengapa dalam diri manusia masih dapat timbul rasa ketidakpuasan ingin menyamai Allah padahal kondisinya sendiri sudah begitu sempurna dan tinggal di dalam lingkungan Taman Eden, yang penulis bayangkan adalah sebuah tempat yang sangat indah? Mengapa Adam, yang menerima mandat perintah Tuhan secara langsung, yang pastinya memiliki relasi yang begitu intim dengan Tuhan tidak menegur Hawa yang memberikannya buah terlarang itu?, telah berubahkah kasihnya pada Allah karena Hawa? Bukankah seharusnya Hawa bertindak sebagai penolong sesuai dengan kehendak Tuhan baginya, tetapi mengapa justru malah menjerumuskannya? Apakah semua tragedi kejatuhan manusia ini sudah berada dalam ketetapan Allah yang harus digenapi? Ataukah ingin menyingkapkan betapa berbahayanya manusia jika ingin memisahkan diri dari Allah? Semua pertanyaan ini adalah pergumulan penulis dalam menyikapi betapa kita harus selalu waspada dan berjaga-jaga. Walau telah menerima anugerah keselamatan Allah, janganlah kita sampai mengulang tragedi Taman Eden dalam kehidupan kita yang sekarang. Penulis berdoa pada Tuhan, kiranya kesadaran ketergantungan penuh pada Allah yang berotoritas selalu ada dalam diri kita semua.    

Imago Dei : Manusia yang Memuliakan Allah

Pernahkah kita membayangkan bahwa manusia di masa depan adalah manusia yang memiliki kekebalan terhadap segala macam penyakit, tidak bisa menua dan memiliki kecerdasan otak seperti komputer ? Ternyata ini bukan sekadar imajinasi belaka, karena saat ini para peneliti sedang mengembangkan teknologi genetik seperti Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR), yang memungkinkan manusia di masa depan untuk mengendalikan gen dan DNA sampai pada titik di mana kita bisa kebal terhadap penyakit atau menghentikan penuaan. Dan berdasarkan laporan dari Wall Street Journal, perusahaan teknologi yang dibangun Elon Musk, saat ini tengah mengembangkan alat yang bisa diimplan ke otak manusia, agar manusia bisa bergabung dan menyesuaikan kesadarannya dengan perangkat lunak sebagai usaha pengembangan kecerdasan buatan. Sistem ini diberi nama Neuralink, yang akan memasukkan kesadaran manusia dalam sistem komputer buatan. Tujuan akhirnya adalah supaya manusia tidak lagi membutuhkan komputer untuk melakukan pekerjaan komputasi, tetapi mereka bisa secara langsung menggunakan kesadaran dan otaknya untuk bisa bekerja seperti komputer. Ini seperti memadukan tubuh biologis dengan teknologi komputer di masa depan. Tujuan akhir dari penelitian ini jika sukses, maka otak manusia akan menjadi lebih cepat, lebih pintar, dan lebih efektif dalam berpikir. Luar biasa bukan…?

Siapakah Pencipta Agung yang dapat menciptakan makhluk ciptaan seperti manusia yang sebegitu pandai dan kreatif ini ? Teori Lamarck mengasumsikan bahwa manusia berasal dari sekelompok kera, yang terus berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, melatih diri hingga memiliki keterampilan yang semakin lama semakin menyerupai wujud manusia. Asumsi ilmiah yang lain, Teori Darwin menyimpulkan bahwa manusia dan kera berasal dari nenek moyang yang sama. Perlu kita sadari bersama bahwa Scientific Result (Evidence) bukanlah Scientific Assumption (Theory), bukti ilmiah tidaklah sama dengan asumsi ilmiah. Keduanya harus dapat dibedakan, karena asumsi ilmiah masih harus melewati tahapan proses selanjutnya, sehingga baru dapat menjadi sebuah bukti yang kuat terhadap penelitian ilmiah.

Darwinism tidak mampu menjelaskan asal mula kehidupan. Ia percaya bahwa sesuatu yang hidup dapat berasal dari yang mati, tetapi tidak bisa menjelaskan atau membuktikannya. Darwinism tidak mampu menjawab pertanyaan tentang asal-usul manusia, bukti-bukti positif manusia berasal dari binatang tidak pernah ada, kesimpulan adanya spesies tradisional baru merupakan sebuah asumsi saja. Darwinism juga tidak mampu untuk menjelaskan asal mula dimensi psikologis manusia yang memiliki kesadaran, agama, bahasa, sense of morality, dll. Semua kualitas yang ada dalam diri manusia tidak sepadan dengan yang ada pada binatang dan juga tidak ditemukan spesies yang berada di antara manusia dan binatang. Kualitas rasionalitas dan kreatifitas manusia telah terbukti sangat berbeda dengan binatang, misalnya seekor laba-laba dalam membuat jaringnya hanya memiliki varian yang terbatas saja, tetapi daya cipta dan kreatifitas manusia tidak terhitung dan tidak terbatas. Jauh sebelum Teori Darwin ada, Teori Evolusi sendiri lahir pada abad ke-17, di mana spirit filsafat rasionalisme modern sedang berkembang pesat di zaman itu, sebagai akibat manusia ingin melepaskan diri dari pengaruh agama yang korup, kisah penciptaan dan theism. Manusia mendeklarasikan dirinya, bahwa mereka tidak membutuhkan sumber-sumber di luar diri manusia itu sendiri. Rasionalitas manusia menjadi pusat paradigma utama yang mereka agungkan.

Allah menciptakan manusia dan binatang dari debu tanah dan pada hari yang sama, yaitu hari keenam, namun dalam proses penciptaan dan kualitasnya sangat berbeda. Ketika Allah ingin menciptakan manusia, yang dapat kita lihat dalam Kej 1:26, sepertinya Allah ingin mendeklarasikan sebuah hal yang sangat penting dalam dewan musyawarah-Nya (Yer 23:18,22), yaitu bahwa Allah pada hari itu akan menciptakan suatu makhluk hidup yang serupa dan segambar dengan diri-Nya sendiri yaitu manusia. Peristiwa penciptaan manusia pertama ini (Adam), kemungkinan juga turut disaksikan oleh seluruh bala tentara sorga (1Raja 22:19, Luk 2:13). Adam dan Hawa, laki-laki dan wanita, keduanya diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah (Imago Dei). Dalam konteks modern, mungkin bisa dikatakan manusia memiliki DNA-nya Allah, sehingga jiwa atau roh manusia diciptakan begitu rupa dengan segala potensi dan kemampuan untuk merepresentasikan Allah yang tidak dapat dilakukan oleh ciptaan yang lainnya. Manusia juga memiliki Human Faculties dalam kapasitasnya sebagai manusia seperti kehidupan psikis, emosi, keinginan, kehendak, berpikir, memiliki rasio, mengetahui, menganalisis, membandingkan, dll. Manusia juga memiliki Virtues of Knowledge, Righteousness dan Holiness yang dimiliki oleh Allah dalam kesempurnaan-Nya, yang juga dapat digambarkan oleh manusia, tapi dalam keterbatasannya sebagai makhluk ciptaan, manusia tetaplah bukan Allah. Pemazmur menyaksikan bahwa Allah telah membuat manusia hampir seperti diri-Nya sendiri, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat (Maz 8:5). Menurunkan derajat ciptaan manusia yang memiliki citra Allah menjadi sederajat dengan binatang sama saja dengan menghina Allah, Sang Pencipta itu sendiri.

Berdasarkan gambar dan rupa Allah ini, tujuan manusia diciptakan tidak pernah ada dalam kondisi netral, tetapi untuk melayani Allah dalam posisi dan segala keunikan yang Tuhan kehendaki bagi kita untuk dikerjakan dalam dunia ini. Berdasarkan gambar ini, manusia dapat menanggapi dan bersekutu dengan Allah, yang secara unik mencerminkan kasih, kemuliaan dan kekudusan-Nya. Manusia memiliki keunikan, martabat yang sangat tinggi dan menjadi partner kerja Allah untuk mengerjakan mandat budaya dan hal-hal yang mulia di atas bumi ini. Sebelum peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, mereka memiliki banyak privilege, karena mereka tidak berdosa dan kudus. Mereka juga memiliki hikmat Allah, hati yang mengasihi dan kehendak untuk melakukan yang benar (Ef 4:24). Mereka hidup dalam persekutuan pribadi dengan Allah yang meliputi ketaatan moral (Kej 2:16-17) dan relasi yang intim. Ketika Adam dan Hawa berdosa, keserupaan moral dengan Allah ini tercemar, kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej 6:5). Hanya melalui proses penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus, orang percaya baru dapat diperbaharui kembali kepada keserupaan moral itu lagi (Ef 4:22-24, Kol 3:10).

Pengertian maksud dari gambar Allah (Imago Dei) dalam pandangan Reformed adalah bukan hanya sekadar kualitas yang baik saja, tetapi keseluruhan natur manusia itu sendiri yang terdiri dari tubuh dan jiwa / roh, kualitas fisik dan spiritualnya. Ketika jatuh ke dalam dosa, Imago Dei itu tidak hilang tapi rusak / korup akibat dari hilangnya kualitas spiritual manusia. Manusia bukan lagi makhluk spiritual yang memiliki hubungan yang erat dan intim dengan Penciptanya, sang sumber keadilan, kebaikan dan kebajikan, sehingga tidak ada satupun dari diri manusia yang tidak menunjukkan kekorupannya. Saat manusia yang satu melihat manusia yang lainnya, mereka terhalang untuk melihat Allah yang Maha Kasih, Maha Adil, dan Maha Kudus itu, karena gambar yang telah rusak tersebut. Dosa telah membuat manusia merepresentasikan gambar Allah yang keliru.

Alkitab telah menyaksikan, bahwa gambar dan rupa Allah yang telah rusak akibat dosa telah membuat manusia kehilangan relasinya dengan Allah yang Maha Kudus itu (Rm 3:23). Manusia tidak lagi ingin melibatkan Allah dalam setiap aspek kehidupannya. Segala potensi dan kualitas yang baik yang ada dalam diri manusia, kini tidak lagi dipakai oleh manusia untuk mewujudkan kehendak Allah dan menyenangkan hati-Nya, yaitu dengan melakukan pekerjaan baik yang berkenan kepada-Nya (Ef 2:10). Beberapa realita kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia, seperti yang telah dituliskan di awal sebelumnya, semakin lama akan membuat manusia semakin jauh dari kebutuhan dan ketergantungannya pada Allah sebagai penolong dan pemelihara hidupnya. Manusia dengan kualitas kepandaian intelektual yang dianugerahkan Allah, dapat menjadi bumerang bagi dirinya sendiri jika dipakai terlepas dari Allah. Mereka akan terus berusaha untuk melengkapi apa yang masih lemah dan kurang pada dirinya sendiri, hal ini persis seperti tragedi di Taman Eden. Penyakit, Penuaan dan Kematian adalah tiga hal yang paling ditakuti dan dihindari oleh manusia, sehingga manusia akan berusaha dengan segala cara untuk dapat mengatasi ketiga hal ini. Kondisi manusia di akhir zaman ini walau tampilan fisik dan otak semakin lama akan semakin cemerlang, tapi manusia batiniah mereka semakin lama akan semakin bobrok. Hal ini kebalikan dari apa yang telah dituliskan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, yaitu kami tidak tawar hati, meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal (2 Kor 4:16,18).

Teknologi penyuntingan gen seperti CRISPR yang dapat merekayasa organisme sesuai dengan kehendak manusia dan teknologi kecerdasan buatan Neuralink yang dapat diimplan ke dalam otak manusia, membuat manusia sepertinya sudah ikut campur dalam urusan Sang Pencipta. Kejatuhan manusia selalu diawali dengan keinginan manusia untuk menjadi Tuhan atas dirinya sendiri. Manusia tidak ingin menundukkan diri dan berada di bawah otoritas Tuhan sebagai Penciptanya serta menggantungkan diri kepada-Nya. Manusia ingin bebas yang sebebas-bebasnya, ia tidak menyadari bahwa hal itu justru akan membawa mereka kepada kebinasaan kekal. Ikan memiliki kebebasan untuk berenang ke mana pun mereka mau selama masih tetap berada dalam lingkungan hidupnya, jika di luar itu maka mereka akan mati. Demikian juga Allah memberikan manusia kehendak bebas bukan agar manusia dapat hidup sebebas-bebasnya sampai memisahkan diri dari Allah, jika demikian maka manusia pasti akan mati. Kehendak bebas diberikan Allah kepada manusia untuk dapat berelasi dengan-Nya. Kapasitas untuk mengasihi Allah ditandai dengan adanya kehendak bebas manusia, sehingga sifatnya bukan paksaan tetapi mutable. Allah menciptakan manusia pertama sempurna tanpa cacat, tetapi tetap memiliki keterbatasan dalam kesempurnaannya. Ketaatan pada perintah Allah menjadi syarat utama dan satu-satunya agar manusia tidak jatuh ke dalam dosa, namun sayangnya tragedi di Taman Eden telah menyaksikan, bahwa manusia lebih memilih untuk menerima tawaran iblis yang manipulatif, daripada taat kepada perintah Allah yang pasti membawa kebaikan dan memberi kehidupan kepada manusia. Hidup manusia tidak akan mungkin terpisah dari Allah dan tidak bergantung kepada-Nya, baik sebelum maupun sesudah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Tipu muslihat iblis selalu ingin menjauhkan manusia dari ketergantungannya kepada Allah, Sang pemberi nafas kehidupan.

Pernahkah kita sungguh-sungguh berpikir dan merenungkan mengapa kita ada di dunia ini dan untuk apa kita diciptakan? Jika kita tidak mengerti mengapa kita ada dan diciptakan maka kita hanya mengayunkan langkah kaki semau kita, mendesain hidup kita ke jalan yang keliru, yang akan semakin menjauhkan kita dari Tuhan. Jika kita dapat memahami ini lebih cepat maka kita mungkin dapat menghemat waktu yang Tuhan telah sediakan bagi setiap kita, untuk mewujudkan apa yang telah direncanakan Tuhan bagi kita. Allah menciptakan setiap manusia dengan satu tujuan, dan hanya Dia yang memiliki gambaran yang utuh dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kita harus bertanya kepada diri sendiri apakah kita peduli terhadap tujuan Tuhan yang disediakan bagi hidup kita? Atau kita selama ini hanya sibuk dengan tujuan kita sendiri dan hidup terpisah dari Allah? Apakah kita sungguh-sungguh telah memper-Allah-kan diri-Nya sebagai Allah yang berkuasa memerintah dalam hidup kita, atau kita hanya sekadar memperalat Allah untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri kita sendiri? Semua pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya dapat kita jawab dengan jujur jika kita sungguh-sungguh telah memiliki relasi dengan Allah. Sama halnya jika kita dekat api panas, dan dekat es dingin, maka orang yang dekat dengan Allah akan memancarkan kebaikan dan kemuliaan Allah. Orang yang menjauh dari Allah justru akan memancarkan hal yang sebaliknya, yaitu akan mempermalukan Allah. Dari buahnya pohon itu akan dikenal (Mat 12:33). Allah menciptakan manusia dengan satu tujuan yaitu agar Allah yang dimuliakan. Ini berarti tujuan hidup manusia juga seharusnya disesuaikan kembali kepada tujuan Allah. Westminster Shorter Catechism merumuskan bahwa “Man’s chief end is to glorify God, and to enjoy Him forever.” Memuliakan Allah berarti kita tidak menyia-yiakan hidup kita yang hanya sementara ini dan menyadari betul-betul anugerah-Nya yang diberikan kepada untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik. Kita harus melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan mengembalikan semuanya kepada Tuhan. Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya (Rm 11:36).

Soli Deo Gloria