Berdasarkan apa yang tertulis dalam Alkitab dan pengakuan iman Reformed, maka Bavink memberikan sebuah highlight bahwa manusia tidak dikatakan memiliki gambar dan rupa Allah tetapi manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej.1:26, 9:6). Manusia adalah gambar dan rupa Allah itu sendiri. Alkitab memberi kesaksian bahwa manusia adalah anak Allah (Luk.3:38), keturunan Allah (Kis.17:28), menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah (IKor.11:7). Tidak ada satu pun dalam diri manusia yang berada di luar gambar dan rupa Allah. Saat ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain memperlihatkan vestiges of God, tetapi hanya manusia yang adalah image of God.
Diciptakan serupa dan segambar dengan Allah adalah merupakan sebuah privilege yang dengan kontras dapat membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hatimu (heart),segenap jiwamu (soul),segenap akal budimu (mind) dan segenap kekuatanmu (strength) (Mrk.12:30). Dengan demikian jelas bahwa manusia adalah sebuah pribadi yang memiliki kemampuan berpikir, merasa dan berkehendak, serta kemampuan yang dipercayakan Tuhan pada manusia untuk mengelola ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya dan semua itu berada dalam kuasa manusia. Allah melihat segala sesuatu yang diciptakan-Nya itu sungguh amat baik (Kej.1:31). Penulis berpikir jika memang demikian baik dan sempurnanya manusia diciptakan pada mulanya maka segala atribut yang ada dalam diri manusia pasti memampukannya untuk mengasihi Allah, mencintai dan ingin menaati perintah-Nya dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Tuhan Yesus. Apakah sesungguhnya yang membuat mahakarya ciptaan Tuhan yang sempurna ini dapat jatuh ke dalam dosa?
Penciptaan adalah karya Tuhan Allah yang sempurna, khususnya manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Ini berarti segala potensi untuk hidup sempurna yang sesuai dengan kehendak-Nya telah Tuhan berikan dalam diri manusia pertama yang diciptakan-Nya. Bahkan manusia memiliki kuasa atas ciptaan-ciptaan Tuhan yang lainnya (Kej.1:26). Mengapa dalam diri manusia masih dapat timbul rasa ketidakpuasan ingin menyamai Allah padahal kondisinya sendiri sudah begitu sempurna dan tinggal di dalam lingkungan Taman Eden, yang penulis bayangkan adalah sebuah tempat yang sangat indah? Mengapa Adam, yang menerima mandat perintah Tuhan secara langsung, yang pastinya memiliki relasi yang begitu intim dengan Tuhan tidak menegur Hawa yang memberikannya buah terlarang itu?, telah berubahkah kasihnya pada Allah karena Hawa? Bukankah seharusnya Hawa bertindak sebagai penolong sesuai dengan kehendak Tuhan baginya, tetapi mengapa justru malah menjerumuskannya? Apakah semua tragedi kejatuhan manusia ini sudah berada dalam ketetapan Allah yang harus digenapi? Ataukah ingin menyingkapkan betapa berbahayanya manusia jika ingin memisahkan diri dari Allah? Semua pertanyaan ini adalah pergumulan penulis dalam menyikapi betapa kita harus selalu waspada dan berjaga-jaga. Walau telah menerima anugerah keselamatan Allah, janganlah kita sampai mengulang tragedi Taman Eden dalam kehidupan kita yang sekarang. Penulis berdoa pada Tuhan, kiranya kesadaran ketergantungan penuh pada Allah yang berotoritas selalu ada dalam diri kita semua.