Guilty Conscience

Bavinck menuliskan bahwa Guilt (rasa bersalah) adalah salah satu dari hukuman atau konsekuensi yang timbul dari dalam diri manusia akibat dosa. Bavinck mengatakan bahwa Guilt adalah pengalaman emosional yang muncul sebagai akibat seseorang (disebut sebagai pelaku), tidak melakukan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya atau melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Rasa bersalah inilah yang kemudian mendorong manusia untuk bertindak melakukan sesuatu agar dapat menghilangkannya. Realita ini dapat kita lihat pada semua agama, bahwa ketakutan mereka pada Tuhan akan rasa bersalahnya jauh lebih besar daripada percayanya pada Tuhan. Menarik ketika Bavinck juga mengatakan bahwa sebelum kejatuhan, manusia tidak memiliki ‘conscience’, karena kondisi manusia sebelum kejatuhan tidak terdapat ‘gap’ antara realita diri mereka dengan diri mereka yang seharusnya. “Being and self-consciousness were in harmony. But the fall produced separation”. Hal ini menjadi sebuah bukti yang sangat jelas bahwa karena dosa terjadi pemisahan antara manusia dan kebenaran Allah yang semula tertanam dalam hatinya. Rasa bersalah dan kesadaran akan rasa bersalahnya adalah dua hal yang berbeda. Karena kemurahan Allah, manusia masih memiliki sedikit kesadaran terhadap rasa bersalahnya. Bavinck mengatakan bahwa kesadaran ini akan semakin nyata dan jelas jika manusia semakin mendekat kepada kebenaran Tuhan yang akan terus mengoreksi kesalahannya.

Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, memiliki emosi yang menciptakan berbagai rasa dalam kehidupannya. Guilt sendiri masuk dalam bagian emosi negatif yang ingin dihindari oleh manusia, tetapi Allah justru memakai Guilt agar relasinya dengan manusia tidak terputus sama sekali. Guilt yang menjadi hukuman akibat dosa, ternyata juga dipakai oleh Allah untuk menarik kembali manusia datang kepada-Nya. Allah kita sungguh luar biasa, Dia sanggup untuk mengubah yang jahat yang ada dalam diri manusia untuk mendatangkan kebaikan (Rm.8:28). Penulis juga sependapat dengan Bavink yang mengatakan bahwa ‘guilt and the consciousness of guilt are not the same’. Menurut penulis guilt mendorong manusia untuk melakukan sesuatu agar dapat mengurangi rasa bersalahnya, tetapi consciousness of guilt adalah pekerjaan Roh Kudus yang membawa manusia mengalami pertobatan yang sejati, yaitu kesadaran penuh akan dosa-dosa dan kesalahannya sampai kepada titik dimana manusia sadar bahwa tidak ada yang dapat dilakukannya untuk dapat mengurangi rasa bersalahnya, selain memohon pengampunan dari Tuhan. Di sinilah manusia mulai bergantung pada Tuhan dan kebenaran-Nya, dan tidak lagi mengandalkan kemampuan dirinya dan kebenarannya sendiri.    

Rasa bersalah telah digantikan oleh Tuhan dengan rasa bersyukur, oleh karena anugerah keselamatan yang telah diberikan pada manusia, yang tidak layak menerimanya. Meresponi panggilan-Nya dalam kehidupan kita, harus menjadi prioritas utama dalam hidup ini. Kiranya Tuhan semakin memberi kesadaran dan kepekaan terhadap dosa agar dalam menjalankan panggilan-Nya tidak mengikuti derasnya arus dunia yang dapat menghanyutkan.

Sin Against The Holy Spirit

Bavinck menjelaskan makna dari dosa menghujat Roh Kudus bukan soal tidak percaya, menolak atau mendukakan Roh Kudus, bukan juga menolak kepribadian dan keilahian Roh Kudus. Dosa ini bukan sekadar berdosa terhadap hukum Allah, tetapi dosa yang spesifik melawan Injil, yang telah diterimanya. Dengan sadar di dalam iman, ia melawan Tuhan, mendeklarasikan diri sebagai pihak oposisi yang menentang Roh Kudus, memutarbalikkan kebenaran menjadi kebohongan, Yesus Kristus diposisikan terbalik sebagai setan dan setan sebagai Tuhan. Karakternya sudah terbentuk bukan lagi manusia tetapi iblis. Menarik ketika Bavinck mengatakan “God’s grace, indeed, is not too little and too powerless to pardon it, but also in the realm of sin, there are laws and ordinances that God has implanted in it and maintains.” Oleh karena itu dosa menghujat Roh Kudus telah memasuki tahap akhir dari besarnya kuasa dosa yang dapat menghilangkan rasa penyesalan, menutup hati nurani, dan mengeraskan hati manusia berdosa sampai mencapai batas di mana dia tidak dapat lagi diselamatkan.  

Perkataan kecaman dari Tuhan Yesus terhadap dosa ini dapat kita temukan dalam kitab Injil Sinoptik (Mat.12:31, Mrk.3:29, Luk.12:10). Hal ini dikatakan Tuhan Yesus dalam konteks dimana orang-orang Farisi dan Ahli Taurat, bukan hanya tidak mau percaya bahwa Tuhan Yesus adalah sungguh Mesias, Anak Daud, tapi juga secara aktif menuduh-Nya dengan tuduhan palsu, yaitu bahwa Dia melakukannya dengan kuasa dari setan. Mereka terusik dengan kehadiran Tuhan Yesus yang membongkar dosa kemunafikan dan kebusukan mereka, iri dan dengki dengan banyaknya pengikut Yesus. Dosa ini terus berkembang sampai akhirnya membuat tuduhan palsu terhadap pekerjaan-Nya. Hal ini membuat penulis menyadari bahwa bukan hanya pengudusan orang percaya yang sifatnya progresif, tetapi natur dosa juga dapat mengalami progresif ke arah yang berlawanan, yang dapat membinasakan dan tidak terampuni lagi, dimana manusia semakin serupa dengan iblis dan bukan Kristus.

Selain itu, penulis juga menemukan dalam Bil.15:30-31 dan Ibr.10:26 dikatakan bahwa jika kita berbuat sesuatu dengan sengaja sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka kita menjadi penista Tuhan dan tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu, karena telah memandang hina terhadap firman Tuhan dan merombak perintah-Nya. Oleh karena itu, kita harus tetap waspada dan berhati-hati terhadap natur dosa yang berkuasa memengaruhi kita, baik dalam kondisi gelap maupun terang. 

Penulis berdoa kepada Tuhan agar kita semakin peka terhadap dosa, tidak menganggap remeh hal-hal yang kecil terhadap dosa dan selalu dikuatkan serta dimampukan oleh pertolongan Roh Kudus untuk mematikan dosa. Bertekad untuk menghidupi panggilan-Nya, agar menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai seorang ayah, ibu, suami, istri, anak, guru, murid, profesional di tempat kerja dan di mana pun Tuhan tempatkan kita untuk menjadi saksi-Nya.    

Sin is Universal

Bavinck menuliskan bahwa Alkitab sendiri telah banyak mencatat jejak-jejak dari universality of sin. Semenjak kejatuhan Adam dan Hawa, maka manifestasi dosa selalu muncul dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tuhan melihat bahwa kecenderungan hati manusia hanya membuahkan kejahatan semata-mata (Kej.6:5). Dosa terus menyebar di antara seluruh umat manusia dan mencapai puncaknya pada zaman Nuh. Setelah banjir sebagai akibat dari penghakiman atas dosa seluruh umat manusia, generasi yang dilahirkan adalah berasal dari keluarga Nuh, yang telah memperoleh kasih karunia Tuhan (Kej.6:8). Namun tetap tidak ada perubahan apa pun dari diri manusia. Memasuki zaman PB, Yohanes Pembaptis mendahului Tuhan Yesus, menyerukan agar manusia bertobat dari dosa-dosanya dan dibaptis. Manusia harus sadar bahwa dosa bukanlah sesuatu yang ditempelkan di luar diri manusia tetapi lahir dari dalam diri manusia itu sendiri. Bavinck mengatakan bahwa “The human desire, inclination, and will reach out to what is forbidden and is powerless to do good. And the body, with all its members, the eyes, the ears, the feet, the mouth and the tongue is in the services of unrighteousness”. Oleh karena itu, Bavinck berpendapat bahwa pertentangan antara keinginan daging dan roh yang ditulis oleh Paulus dalam Roma 7:7-25 hanya dapat dirasakan oleh mereka yang telah mengalami pembaharuan oleh Roh dan sekaligus ingin membuktikan bahwa betapa besar kuasa dosa yang mencengkeram manusia. Bagi mereka yang telah lahir baru oleh Roh saja masih begitu sulit menghadapi dosa, apalagi mereka yang belum mengalaminya, manusia menjadi budak dosa, berjalan hanya mengikuti keinginan daging, dan hal ini adalah permusuhan dengan Allah.  

Penulis setuju dengan apa yang dituliskan oleh Bavinck, hanya mereka yang hatinya telah diterangi oleh Roh Kudus, yang dapat menyadari betapa kotor dan najisnya hati manusia yang berdosa di hadapan Allah yang Maha Kudus. Bahkan dikatakan kesalehan manusia pun seperti kain kotor (Yes.64:6). Lilin hanya terlihat terang di dalam kegelapan malam namun tidak di hadapan sinar matahari. Demikian juga, kita dapat terlihat baik di antara mereka yang kurang baik, tapi tidak di hadapan Allah. Hati manusia telah ternoda dan kecenderungannya adalah berbuat jahat. Walau dalam realita hidup, kita juga masih bisa melihat kebaikan manusia yang termanifestasikan baik kepada sesama maupun binatang, itu karena hukum hati nurani telah terlukiskan di dalam hati mereka (Rm.2:14-15). Namun dosa bukan bicara tentang kebaikan manusia tapi keterpisahan dan ketergantungan manusia pada Allah, sehingga mengakibatkan manusia berorientasi hanya pada kebenarannya sendiri. Hal ini tertulis dalam Roma 3:11-12, Paulus dengan gamblang menuliskan bahwa standar kebenaran Allah sangat tinggi, jika manusia hidup terpisah dari Allah, maka segala yang baik yang ada pada manusia hanya seperti gong yang berkumandang, hanya membuat sesama manusia kagum tapi tidak dengan Allah.

Penulis berdoa kepada Tuhan agar selalu diingatkan terus, dari mana Dia telah memungut penulis. Karena hanya dengan kesadaran bahwa kita adalah manusia yang berdosa, maka kita boleh terus berharap pada pengampunan-Nya. Dan tepatlah seperti yang Alkitab katakan yaitu hanya orang sakit yang memerlukan tabib (Mat.9:12).  

The Knowledge of Good and Evil

Bavinck menyoroti satu hal yang sangat menarik, yaitu seperti yang tertulis dalam Kej 2:9, di tengah Taman Eden terdapat 2 pohon yaitu pohon kehidupan dan pohon tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang dimaksud dengan pengetahuan yang baik dan yang jahat tsb? Penjelasan yang paling sering kita dengar adalah ketika manusia memakan buah dari pohon tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat tsb, maka mereka tidak hanya memiliki pengetahuan tentang yang baik saja tetapi juga yang jahat ada di dalam diri mereka. Dampak dari memakan buah tsb bahkan dapat membuat manusia kehilangan pemahaman akan kebenaran Allah. Pengetahuan yang dimaksud sudah pasti bukan pengetahuan intelektual atau moral, yang telah dimiliki oleh manusia saat diciptakan serupa dan segambar dengan Allah. Hal ini dapat kita ketahui karena setelah manusia diciptakan, Allah memberikan perintah-Nya agar manusia menguasai bumi dan makhluk-makhluk ciptaan lainnya serta tidak memakan buah dari pohon yang terlarang. Hal ini menunjukkan manusia telah diciptakan dalam kondisi manusia dewasa yang telah memiliki hati nurani, akal budi and kehendak untuk dapat memilih menaati atau tidak menaati perintah Allah. Jadi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat tsb haruslah memiliki makna yang berbeda. Menurut Marti, pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu adalah kemampuan untuk berdiri pada pemahamannya sendiri, caranya sendiri, dan hasratnya untuk memenuhi keinginannya sendiri yang dapat mereka kembangkan dan kebebasan independen dari otoritas Allah. Jadi yang penting di sini bukan content dari pengetahuan tetapi manner manusia dalam memakai segala potensi yang telah dimilikinya.     

Dua pohon yang berada di tengah Taman Eden mewakili dua akibat yang akan diterima oleh manusia saat memakan buahnya. Dikatakan kedua pohon sangat menarik tetapi salah satunya adalah pohon yang palsu, yang akan menipu manusia kepada banyak kesukaran, maut dan kebinasaan. Sedangkan pohon yang lainnya adalah pohon yang akan membawa kita kepada kehidupan. Sebenarnya jika dipikirkan benar-benar dan teliti, perintah Allah ini bukanlah menawarkan pada manusia sebuah pilihan melainkan sebuah larangan atau peringatan terhadap pohon yang berbahaya itu. Jika engkau melanggar peringatan ini maka engkau akan mati. Dampak yang ditimbulkannya sangat fatal, manusia terpisah dan tidak lagi memiliki ketergantungan terhadap Allah, Sang pemilik kehidupan. Manusia menjadi tidak percaya kepada Tuhan dan hanya bersandar pada pengertiannya sendiri (Ams.3:5). Manusia ingin menjadikan dirinya sama seperti Allah yaitu menganggap dirinya adalah kebenaran itu sendiri, kebenaran palsu yang hanya akan mencelakakan dan membawa dirinya kepada maut dan kebinasaan.       

Memahami bahwa perintah Allah sesungguhnya adalah bukan pilihan tapi lebih tepatnya merupakan sebuah larangan atau peringatan akan bahaya yang dapat dialami jika kita melanggarnya, maka sudah seharusnya kita menaklukkan akal budi dan kehendak kita di bawah otoritas pimpinan Allah. Jangan keluar dari otoritas dan kebenaran-Nya, yang sebenarnya justru untuk melindungi kita dari bahaya maut. Jangan termakan rayuan tipuan si iblis, tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya. Seperti ikan yang bebas berenang selama dalam habitat lingkungannya, demikian juga manusia hanya dapat hidup jika tinggal di dalam Allah. Kebebasan yang terbatas adalah kebebasan yang sesungguhnya. Kebebasan tanpa batas hanya akan membawa kita kepada kematian.     

Di Manakah Engkau ?

Saat kita sedang tersesat di jalan dan mencoba untuk melihat peta, pastilah hal pertama yang kita lihat adalah posisi kita saat itu sedang ada di mana. Demikian pula dengan manusia pertama, Adam, setelah ia dan istrinya melanggar perintah Allah dan jatuh ke dalam dosa, maka hal pertama yang Allah tanyakan kepadanya adalah “Di manakah engkau?”. Allah menanyakan kepada Adam bukan berarti Allah tidak tahu ia ada di mana, karena Allah jelas adalah Allah yang Maha Tahu. Tapi Allah ingin Adam menyadari posisinya, bahwa setelah ia makan buah dari pohon yang terlarang, maka ia sudah tidak lagi terikat dengan Allah. Ia dan istrinya, Hawa sudah terpisah dari Allah. Manusia telah tertipu oleh si iblis, sang pendusta dan bapa segala dusta. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan di dalam dia tidak ada kebenaran (Yoh 8:44).

Mengapa dari sekian banyak pohon yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya, ditambah dengan buah dari pohon kehidupan yang adalah sumber kehidupan kekal dari Allah sendiri, manusia masih tetap ingin memakan buah dari pohon yang terlarang? Padahal mereka sudah diberi tahu bahwa konsekuensinya pasti mati jika memakannya (Kej 2:17). Hal ini sama dengan mengatakan “Jangan minum racun ini, jika engkau meminumnya pasti akan mati”. Dan bila telah diperingatkan sebelumnya, namun tetap kita abaikan karena tertipu rayuan iblis yang memanipulasi racun menjadi madu, bukankah itu karena kebodohan dan kebebalan kita sendiri yang lebih percaya pada iblis daripada Allah?

Mengapa Allah mengizinkan / membiarkan manusia jatuh ke dalam dosa? Apakah Allah menghendaki manusia jatuh ke dalam dosa? Dari manakah sebenarnya asal dosa itu? Apakah dosa diciptakan Allah? Semua pertanyaan-pertanyaan ini pasti pernah timbul dalam pemikiran kita yang mencoba untuk memahami asal mula kejatuhan manusia ke dalam dosa. Allah yang baik, kudus dan kasih bukanlah pencipta / pembuat dosa. Dia tidak menciptakan dosa karena dosa bukan substansi, material / immaterial dan Dia juga tidak menghendaki manusia jatuh ke dalam dosa. Namun dosa tetap berada di dalam kehendak Allah sebagai hubungan sebab akibat, yang dapat timbul dari dalam diri manusia itu sendiri jika manusia menyalahgunakan kehendak bebasnya untuk melawan Allah. Manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah berbeda dengan binatang, manusia adalah makhluk moral dan rasional dengan kehendak bebas yang memiliki kemungkinan berdosa. Dosa timbul sebagai akibat dari manusia yang memakai kehendak bebasnya alih-alih untuk mengasihi dan menaati Allah, manusia memilih untuk melawan perintah Allah. Manusia ingin hidup bebas dari otoritas Allah, ingin lepas dari ketergantungannya pada Allah, dan ingin menjadi seperti Allah. Jadi dosa bukanlah substansi, material atau immaterial tetapi fenomena etis yaitu sebuah anti dari etis (ethical antithesis). Hal ini berarti etis relasi dengan Allah yang melenceng dari sasaran yang telah ditentukan oleh Allah, agar manusia dapat hidup menikmati Allah dalam kasih dan anugerah-Nya. Manusia dicipta untuk dapat berelasi dengan Allah, dan dosa yang hanya bisa dilakukan oleh makhluk moral / rasional telah merusak relasi dengan Allah dan membuat manusia hidup terpisah dari Allah. Kita harus memahami bahwa dosa tidak pernah berada di luar pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan Allah. Dosa hadir atas seizin Allah sebagai akibat dari manusia yang menyalahgunakan kehendak bebasnya untuk melawan perintah Allah.

Pertanyaan lain yang mungkin dapat timbul dari pemikiran kita adalah mengapa Allah sengaja menaruh pohon pengetahuan yang dapat mematikan manusia itu di tengah-tengah taman? Sepertinya itu lokasi yang paling strategis di taman tersebut, yang tentunya akan dilewati oleh manusia setiap harinya. Mengapa pohon yang berbahaya ini tidak dihilangkan saja agar tidak membuat manusia jatuh ke dalam dosa dan dapat hidup berbahagia bersama dengan Tuhan selama-lamanya? Cinta dan kesetiaan yang tidak pernah diuji dengan yang telah melewati ujian tentunya akan berbeda kualitasnya. Allah meletakkan dua pohon utama, yaitu pohon kehidupan dan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat tentunya memiliki kepentingan khusus. Pohon Kehidupan adalah sumber kehidupan dari Allah sendiri yang mungkin dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kematian jasmaniah. Pohon ini dikaitkan dengan hidup kekal dalam Kej 3:22. Umat Allah akan menikmati pohon kehidupan di langit dan bumi yang baru (Why 2:7, 22:2). Pohon “pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” dirancang untuk menguji iman dan ketaatan Adam kepada Allah dan firman-Nya.

Sebenarnya apakah makna pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu? Alkitab mengajarkan bahwa pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu adalah kemampuan dan kapasitas untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat dari dalam diri manusia itu sendiri, terlepas dan terpisah dari Allah. Inilah mengapa Allah melarangnya, karena saat manusia memakannya maka manusia telah mendeklarasikan bahwa mereka melawan Allah. Manusia memosisikan diri mereka sama seperti Allah, yaitu berada di luar dan bahkan di atas hukum Allah, bersifat independen dari Allah. Pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat bukanlah soal content tentang kebaikan dan kejahatan, tetapi lebih kepada bagaimana cara manusia ingin meraihnya. Yang diuji oleh Tuhan bukanlah keinginan manusia untuk mendapatkan “pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”, tetapi manusia ingin mendapatkan hal yang baik itu dengan cara yang bagaimana? Menuruti iblis dan melawan Allah? Atau menaati Allah dan melawan iblis?

Manusia akhirnya mengambil keputusan untuk menuruti iblis dan ingin menentukan sendiri baik dan jahat di luar sumber kebenaran itu sendiri, yaitu Allah. Memakan buah dari pohon terlarang tersebut telah menjadikan manusia berorientasi pada kebenaran mereka sendiri. Peristiwa dalam Kej 3:22 telah menunjukkan kegagalan manusia dalam menghadapi ujian kesetiaan yang diberikan oleh Allah. Mereka mengikuti hawa nafsunya dan abai terhadap bahaya peringatan Allah, serta tidak menghiraukan lagi rencana Allah bagi diri mereka. Mereka pikir mereka akan menjadi seperti Allah, tetapi justru yang terjadi adalah gambar dan rupa Allah yang ada pada manusia menjadi rusak akibat dosa. Mereka bahkan bersembunyi, membela diri dan menjauhi Allah sebagai sumber keadilan dan kesucian. Karena mereka tidak lagi menempel pada sang sumber kebenaran dan tolok ukur kebenaran yang mereka pakai sekarang adalah diri mereka sendiri, yang sudah tercemar oleh dosa. Segala sesuatu yang mereka pikir baik tidak lagi dapat memenuhi standar Allah karena bukan berasal dari Allah, sehingga manusia tidak mungkin dapat berkenan dan menyenangkan hati Allah, jika Allah tidak berbelas kasihan kepada manusia. Rasio dan perasaan manusia tidak pernah hilang karena berdosa, tetapi tidak lagi dipakai untuk melayani Allah, yang seharusnya diciptakan untuk memuliakan Allah dengan kehendak bebasnya di dalam kasih. Dosa menyebabkan manusia hidup dalam guilt dan corruption, yang menjadikan manusia musuh Allah, mengabaikan kehadiran-Nya bahkan sampai berani memperalat Allah untuk memenuhi hawa nafsu dan keinginannya.   

Mengapa manusia lebih memilih untuk berdosa, bukankah kita tahu bahwa kasih Allah tidak terbatas dan anugerah-Nya sangat besar bagi kita? Kita juga tahu bahwa Allah memelihara kita dengan memberikan kehidupan dan apa yang kita butuhkan. Semua ini seharusnya menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk kita tidak lagi berbuat dosa. Namun realitanya manusia berdosa sering memilih yang salah daripada yang benar. Mereka puas dengan hal-hal yang sementara daripada yang memiliki nilai kekal, hal yang jauh dari sempurna, dan puas dengan hal yang defect (settle for less). Manusia lebih suka menerima hormat seorang dari yang lain daripada mencari hormat yang datang dari Allah (Yoh 5:44). Manusia rela untuk melakukan sesuatu agar dapat diterima keberadaannya atau untuk mendapat pujian dengan mengorbankan integritasnya, bahkan sampai berani memanipulasi kebenaran firman Tuhan demi keuntungan materi yang ingin dicapai. Padahal Allah telah memberikan kepada kita kasih-Nya yang sempurna. Allah mau mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya yang dikasihi-Nya, agar Dia dapat menjadi Bapa di surga yang senantiasa akan memelihara kita menurut kekayaan kasih karunia-Nya (Fil 4:19).

Dosa telah mengakibatkan orientasi hidup manusia berubah sedemikian rupa, sehingga segala kemampuan dan kekuatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia tidak lagi dipakai untuk melayani Allah, tetapi untuk menuruti kedagingannya. Manusia telah menempatkan dirinya menjadi yang utama (self-oriented) yang harus diikuti. Actual Sin dapat terwujud karena kebersalahan dan kekorupan manusia. Martin Luther mengatakan bahwa manusia berdosa menggunakan “will” mereka yang “free” untuk hal-hal yang jahat. Manusia berdosa akan secara aktif melawan Allah, mereka akan menindas kebenaran dengan kelaliman, sekalipun mereka mengenal Allah, tapi mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah, pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi sebenarnya mereka telah menjadi bodoh. Mereka telah menggantikan Allah dengan segala sesuatu yang fana, yaitu dengan kedagingan mereka, yang bukan ‘allah’ telah dijadikan ‘Allah’ oleh manusia, itulah dosa (Rm 1:18-23). Dosa dilihat dari perspektif etis-spiritual maka dosa adalah sebuah lawan dari etis (ethical antithesis) dari kebaikan. Dosa adalah parasit atas segala sesuatu yang baik.

Kondisi manusia yang sekarang sama seperti Adam dan Hawa yang jatuh ke dalam dosa, jangan mengulang lagi apa yang telah dilakukan oleh mereka, yaitu bersembunyi dan mencoba untuk membela diri dengan menyalahkan siapa saja yang bisa disalahkan ketika Allah datang untuk konfrontasi dengan mereka. Pemazmur mengajarkan pada kita untuk menjauhi yang jahat dan lakukanlah yang baik, mencari perdamaian dan berusaha untuk mendapatkannya. Allah dekat kepada orang-orang yang hancur hatinya dan menyelamatkan mereka yang remuk jiwanya (Mzm 34:14,18). Datanglah kepada Tuhan dengan hati yang hancur dan benar-benar rindu untuk dibenarkan, dikuduskan dan diperbaharui oleh Allah. Ada di manakah posisi kita sekarang ini? Adakah rasa haus akan kebenaran firman Tuhan di dalam diri kita? Keberdosaan manusia adalah sesuatu yang nyata dan korupsi dalam pikiran kita adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Adakah perasaan yang timbul dari dalam diri kita, yang membuat kita terdorong untuk mencari kebenaran Allah yang sejati? Atau selama ini kita hanya mengandalkan perasaan kita sendiri sebagai tolok ukur kebenaran yang kita percayai? Apakah sekarang kita sedang berjalan menjauh dari atau mendekat kepada Tuhan ? Di mana pun posisi kita sekarang ini, kita harus mulai bergerak mendekat kepada Allah. Mengakui kita ini sebagai orang yang telah jatuh ke dalam dosa, Allah sendiri yang akan mengembalikan hal-hal yang baik yang pernah hilang dari diri kita akibat dosa. Sebab Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah, mereka akan dibenarkan dan dimuliakan-Nya (Rm 8:28,30).

Soli Deo Gloria…