Di Manakah Engkau ?

Saat kita sedang tersesat di jalan dan mencoba untuk melihat peta, pastilah hal pertama yang kita lihat adalah posisi kita saat itu sedang ada di mana. Demikian pula dengan manusia pertama, Adam, setelah ia dan istrinya melanggar perintah Allah dan jatuh ke dalam dosa, maka hal pertama yang Allah tanyakan kepadanya adalah “Di manakah engkau?”. Allah menanyakan kepada Adam bukan berarti Allah tidak tahu ia ada di mana, karena Allah jelas adalah Allah yang Maha Tahu. Tapi Allah ingin Adam menyadari posisinya, bahwa setelah ia makan buah dari pohon yang terlarang, maka ia sudah tidak lagi terikat dengan Allah. Ia dan istrinya, Hawa sudah terpisah dari Allah. Manusia telah tertipu oleh si iblis, sang pendusta dan bapa segala dusta. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan di dalam dia tidak ada kebenaran (Yoh 8:44).

Mengapa dari sekian banyak pohon yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya, ditambah dengan buah dari pohon kehidupan yang adalah sumber kehidupan kekal dari Allah sendiri, manusia masih tetap ingin memakan buah dari pohon yang terlarang? Padahal mereka sudah diberi tahu bahwa konsekuensinya pasti mati jika memakannya (Kej 2:17). Hal ini sama dengan mengatakan “Jangan minum racun ini, jika engkau meminumnya pasti akan mati”. Dan bila telah diperingatkan sebelumnya, namun tetap kita abaikan karena tertipu rayuan iblis yang memanipulasi racun menjadi madu, bukankah itu karena kebodohan dan kebebalan kita sendiri yang lebih percaya pada iblis daripada Allah?

Mengapa Allah mengizinkan / membiarkan manusia jatuh ke dalam dosa? Apakah Allah menghendaki manusia jatuh ke dalam dosa? Dari manakah sebenarnya asal dosa itu? Apakah dosa diciptakan Allah? Semua pertanyaan-pertanyaan ini pasti pernah timbul dalam pemikiran kita yang mencoba untuk memahami asal mula kejatuhan manusia ke dalam dosa. Allah yang baik, kudus dan kasih bukanlah pencipta / pembuat dosa. Dia tidak menciptakan dosa karena dosa bukan substansi, material / immaterial dan Dia juga tidak menghendaki manusia jatuh ke dalam dosa. Namun dosa tetap berada di dalam kehendak Allah sebagai hubungan sebab akibat, yang dapat timbul dari dalam diri manusia itu sendiri jika manusia menyalahgunakan kehendak bebasnya untuk melawan Allah. Manusia yang diciptakan serupa dan segambar dengan Allah berbeda dengan binatang, manusia adalah makhluk moral dan rasional dengan kehendak bebas yang memiliki kemungkinan berdosa. Dosa timbul sebagai akibat dari manusia yang memakai kehendak bebasnya alih-alih untuk mengasihi dan menaati Allah, manusia memilih untuk melawan perintah Allah. Manusia ingin hidup bebas dari otoritas Allah, ingin lepas dari ketergantungannya pada Allah, dan ingin menjadi seperti Allah. Jadi dosa bukanlah substansi, material atau immaterial tetapi fenomena etis yaitu sebuah anti dari etis (ethical antithesis). Hal ini berarti etis relasi dengan Allah yang melenceng dari sasaran yang telah ditentukan oleh Allah, agar manusia dapat hidup menikmati Allah dalam kasih dan anugerah-Nya. Manusia dicipta untuk dapat berelasi dengan Allah, dan dosa yang hanya bisa dilakukan oleh makhluk moral / rasional telah merusak relasi dengan Allah dan membuat manusia hidup terpisah dari Allah. Kita harus memahami bahwa dosa tidak pernah berada di luar pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan Allah. Dosa hadir atas seizin Allah sebagai akibat dari manusia yang menyalahgunakan kehendak bebasnya untuk melawan perintah Allah.

Pertanyaan lain yang mungkin dapat timbul dari pemikiran kita adalah mengapa Allah sengaja menaruh pohon pengetahuan yang dapat mematikan manusia itu di tengah-tengah taman? Sepertinya itu lokasi yang paling strategis di taman tersebut, yang tentunya akan dilewati oleh manusia setiap harinya. Mengapa pohon yang berbahaya ini tidak dihilangkan saja agar tidak membuat manusia jatuh ke dalam dosa dan dapat hidup berbahagia bersama dengan Tuhan selama-lamanya? Cinta dan kesetiaan yang tidak pernah diuji dengan yang telah melewati ujian tentunya akan berbeda kualitasnya. Allah meletakkan dua pohon utama, yaitu pohon kehidupan dan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat tentunya memiliki kepentingan khusus. Pohon Kehidupan adalah sumber kehidupan dari Allah sendiri yang mungkin dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kematian jasmaniah. Pohon ini dikaitkan dengan hidup kekal dalam Kej 3:22. Umat Allah akan menikmati pohon kehidupan di langit dan bumi yang baru (Why 2:7, 22:2). Pohon “pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” dirancang untuk menguji iman dan ketaatan Adam kepada Allah dan firman-Nya.

Sebenarnya apakah makna pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu? Alkitab mengajarkan bahwa pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu adalah kemampuan dan kapasitas untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat dari dalam diri manusia itu sendiri, terlepas dan terpisah dari Allah. Inilah mengapa Allah melarangnya, karena saat manusia memakannya maka manusia telah mendeklarasikan bahwa mereka melawan Allah. Manusia memosisikan diri mereka sama seperti Allah, yaitu berada di luar dan bahkan di atas hukum Allah, bersifat independen dari Allah. Pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat bukanlah soal content tentang kebaikan dan kejahatan, tetapi lebih kepada bagaimana cara manusia ingin meraihnya. Yang diuji oleh Tuhan bukanlah keinginan manusia untuk mendapatkan “pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”, tetapi manusia ingin mendapatkan hal yang baik itu dengan cara yang bagaimana? Menuruti iblis dan melawan Allah? Atau menaati Allah dan melawan iblis?

Manusia akhirnya mengambil keputusan untuk menuruti iblis dan ingin menentukan sendiri baik dan jahat di luar sumber kebenaran itu sendiri, yaitu Allah. Memakan buah dari pohon terlarang tersebut telah menjadikan manusia berorientasi pada kebenaran mereka sendiri. Peristiwa dalam Kej 3:22 telah menunjukkan kegagalan manusia dalam menghadapi ujian kesetiaan yang diberikan oleh Allah. Mereka mengikuti hawa nafsunya dan abai terhadap bahaya peringatan Allah, serta tidak menghiraukan lagi rencana Allah bagi diri mereka. Mereka pikir mereka akan menjadi seperti Allah, tetapi justru yang terjadi adalah gambar dan rupa Allah yang ada pada manusia menjadi rusak akibat dosa. Mereka bahkan bersembunyi, membela diri dan menjauhi Allah sebagai sumber keadilan dan kesucian. Karena mereka tidak lagi menempel pada sang sumber kebenaran dan tolok ukur kebenaran yang mereka pakai sekarang adalah diri mereka sendiri, yang sudah tercemar oleh dosa. Segala sesuatu yang mereka pikir baik tidak lagi dapat memenuhi standar Allah karena bukan berasal dari Allah, sehingga manusia tidak mungkin dapat berkenan dan menyenangkan hati Allah, jika Allah tidak berbelas kasihan kepada manusia. Rasio dan perasaan manusia tidak pernah hilang karena berdosa, tetapi tidak lagi dipakai untuk melayani Allah, yang seharusnya diciptakan untuk memuliakan Allah dengan kehendak bebasnya di dalam kasih. Dosa menyebabkan manusia hidup dalam guilt dan corruption, yang menjadikan manusia musuh Allah, mengabaikan kehadiran-Nya bahkan sampai berani memperalat Allah untuk memenuhi hawa nafsu dan keinginannya.   

Mengapa manusia lebih memilih untuk berdosa, bukankah kita tahu bahwa kasih Allah tidak terbatas dan anugerah-Nya sangat besar bagi kita? Kita juga tahu bahwa Allah memelihara kita dengan memberikan kehidupan dan apa yang kita butuhkan. Semua ini seharusnya menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk kita tidak lagi berbuat dosa. Namun realitanya manusia berdosa sering memilih yang salah daripada yang benar. Mereka puas dengan hal-hal yang sementara daripada yang memiliki nilai kekal, hal yang jauh dari sempurna, dan puas dengan hal yang defect (settle for less). Manusia lebih suka menerima hormat seorang dari yang lain daripada mencari hormat yang datang dari Allah (Yoh 5:44). Manusia rela untuk melakukan sesuatu agar dapat diterima keberadaannya atau untuk mendapat pujian dengan mengorbankan integritasnya, bahkan sampai berani memanipulasi kebenaran firman Tuhan demi keuntungan materi yang ingin dicapai. Padahal Allah telah memberikan kepada kita kasih-Nya yang sempurna. Allah mau mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya yang dikasihi-Nya, agar Dia dapat menjadi Bapa di surga yang senantiasa akan memelihara kita menurut kekayaan kasih karunia-Nya (Fil 4:19).

Dosa telah mengakibatkan orientasi hidup manusia berubah sedemikian rupa, sehingga segala kemampuan dan kekuatan yang dianugerahkan Allah kepada manusia tidak lagi dipakai untuk melayani Allah, tetapi untuk menuruti kedagingannya. Manusia telah menempatkan dirinya menjadi yang utama (self-oriented) yang harus diikuti. Actual Sin dapat terwujud karena kebersalahan dan kekorupan manusia. Martin Luther mengatakan bahwa manusia berdosa menggunakan “will” mereka yang “free” untuk hal-hal yang jahat. Manusia berdosa akan secara aktif melawan Allah, mereka akan menindas kebenaran dengan kelaliman, sekalipun mereka mengenal Allah, tapi mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah, pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi sebenarnya mereka telah menjadi bodoh. Mereka telah menggantikan Allah dengan segala sesuatu yang fana, yaitu dengan kedagingan mereka, yang bukan ‘allah’ telah dijadikan ‘Allah’ oleh manusia, itulah dosa (Rm 1:18-23). Dosa dilihat dari perspektif etis-spiritual maka dosa adalah sebuah lawan dari etis (ethical antithesis) dari kebaikan. Dosa adalah parasit atas segala sesuatu yang baik.

Kondisi manusia yang sekarang sama seperti Adam dan Hawa yang jatuh ke dalam dosa, jangan mengulang lagi apa yang telah dilakukan oleh mereka, yaitu bersembunyi dan mencoba untuk membela diri dengan menyalahkan siapa saja yang bisa disalahkan ketika Allah datang untuk konfrontasi dengan mereka. Pemazmur mengajarkan pada kita untuk menjauhi yang jahat dan lakukanlah yang baik, mencari perdamaian dan berusaha untuk mendapatkannya. Allah dekat kepada orang-orang yang hancur hatinya dan menyelamatkan mereka yang remuk jiwanya (Mzm 34:14,18). Datanglah kepada Tuhan dengan hati yang hancur dan benar-benar rindu untuk dibenarkan, dikuduskan dan diperbaharui oleh Allah. Ada di manakah posisi kita sekarang ini? Adakah rasa haus akan kebenaran firman Tuhan di dalam diri kita? Keberdosaan manusia adalah sesuatu yang nyata dan korupsi dalam pikiran kita adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Adakah perasaan yang timbul dari dalam diri kita, yang membuat kita terdorong untuk mencari kebenaran Allah yang sejati? Atau selama ini kita hanya mengandalkan perasaan kita sendiri sebagai tolok ukur kebenaran yang kita percayai? Apakah sekarang kita sedang berjalan menjauh dari atau mendekat kepada Tuhan ? Di mana pun posisi kita sekarang ini, kita harus mulai bergerak mendekat kepada Allah. Mengakui kita ini sebagai orang yang telah jatuh ke dalam dosa, Allah sendiri yang akan mengembalikan hal-hal yang baik yang pernah hilang dari diri kita akibat dosa. Sebab Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah, mereka akan dibenarkan dan dimuliakan-Nya (Rm 8:28,30).

Soli Deo Gloria…